Pada tanggal 31 Desember 2019, pemerintah Taiwan mengetahui mengenai munculnya penyakit pneumonia baru yang tidak biasa dikombinasikan dengan virus corona di China ketika kabar tersebut dibagikan di aplikasi pesan populer Taiwan, PTT.
Pejabat kesehatan mengetahui apa arti referensi untuk sesuatu yang "baru". Hampir dua puluh tahun sebelumnya, 181 orang meninggal karena SARS di Taiwan, virus serupa dan sangat menular. Pihak berwenang mengirim email kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kekhawatiran mereka bahwa virus itu bisa menular dari manusia ke manusia, menurut Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan dan juga tentang berita bahwa dokter-dokter di China telah jatuh sakit.
Menurut penuturan Taiwan sendiri, pihaknya tidak pernah menerima tanggapan atas email tersebut. “WHO awalnya berusaha membantah menerima peringatan Taiwan. Namun, (Kementerian Luar Negeri) Taiwan mampu menunjukkan bukti laporan peringatan Taiwan,” kata Chunhuei Chi, direktur Pusat Kesehatan Global di Universitas Negeri Oregon.
WHO membantah isi email tersebut, tetapi bagi Taiwan dan sekutunya, insiden tersebut merupakan penghinaan politik. Negara demokrasi berpenduduk 23,5 juta itu bukan anggota atau pengamat di WHO atau Majelis Kesehatan Dunia.
Absennya Taiwan dari kedua badan PBB itu telah mendapat sorotan selama pandemi, tetapi sebuah laporan baru dari German Marshall Fund dirilis pada akhir Maret merinci bagaimana penghapusan Taiwan dari WHO dan badan lain yang berafiliasi dengan PBB mungkin lebih dari sekadar kehilangan keanggotaan.
Saat Taiwan diizinkan untuk duduk sebagai pengamat di WHO pada pertengahan 2000-an, Taiwan diblokir oleh Beijing ketika Presiden Taiwan yang beraliran kiri-tengah Tsai Ing-wen terpilih pada 2016.
Taiwan di PBB
Laporan yang dikeluarkan German Marshall Fund juga menyebutkan China sedang berupaya menghalangi Taiwan dari PBB yang dilakukan hingga jauh ke dalam birokrasi organisasi dunia itu, secara sistematis menghalangi Taiwan terlibat dengan organisasi internasional.
Laporan tertanggal 24 Maret itu mengklaim China telah menggunakan berbagai perangkat seperti skema pendanaan khusus, penandatanganan nota kesepahaman dan perekrutan strategis staf PBB untuk membuat Taiwan tidak masuk badan internasional tersebut, meskipun PBB belum membuat keputusan resmi mengenai status politik Taiwan.
Taiwan yang berpenduduk 23,5 juta itu bukan anggota maupun pengamat di PBB karena keberatan China, yang mengklaim Taiwan sebagai provinsinya. Pada masa lalu, Taiwan diberi status pengamat di beberapa badan dunia itu, seperti Organisasi Kesehatan Dunia. Tetapi sejak terpilihnya Presiden Tsai Ing-wen pada tahun 2016, Taiwan telah dihambat oleh Beijing.
Metode-metode ini telah membuat “LSM, wakil-wakil masyarakat madani, dan bahkan sekolah menengah, tidak mendapatkan akses ke sumber daya PBB atau menghadiri forum-forum dan kegiatan yang diorganisasikan PBB jika Taiwan tampil di situs web atau materi organisasi mereka sebagai ‘Taiwan,’ bukannya ‘Taiwan, Provinsi dari China,’” menurut laporan itu.
Individu-individu dapat dilarang memasuki PBB tanpa identitas yang dikeluarkan dari Beijing, meskipun mereka telah memiliki paspor atau kartu identitas Taiwan.
Kebijakan Beijing juga telah ditegakkan dengan berkembangnya jumlah staf China di badan-badan PBB, yang pada tahun 2019 mencapai 1.300 orang, sebut laporan itu. Banyak warga negara China juga memegang “posisi senior di berbagai program dan dana PBB, organ-organ utamanya, dan berbagai organisasi internasional lainnya yang berafiliasi ke PBB.”
Masalah pokoknya adalah, sebut laporan itu, bagaimana China telah menggunakan resolusi PBB yang telah berumur 50 tahun untuk mempromosikan klaim-klaim kedaulatannya.
Resmi dikenal sebagai Republic of China (ROC), pemerintah Taiwan melarikan diri dari China daratan ke pulau itu pada akhir 1940-an setelah kalah dalam Perang Saudara China melawan Partai Komunis.
Pemerintah ROC memegang kursi “China” di PBB hingga 1971, sewaktu negara satu partai itu diusir dari PBB berdasarkan Resolusi 2578, sewaktu banyak negara semakin kurang nyaman dengan Taiwan yang mewakili ratusan juta orang Tionghoa di benua Asia.
Resolusi 2578 malah menjadi sinonim dengan kebijakan Beijing bahwa “hanya ada satu China di dunia, Taiwan adalah bagian dari China dan pemerintah (China) adalah satu-satunya pemerintah yang sah yang mewakili seluruh China.”
Naskah resolusi itu tidak menyebut-nyebut Taiwan, Republic of China, maupun definisi apapun mengenai China. Alih-alih, naskah itu hanya mengacu pada pengusiran “rezim Chiang Kai-Shek,” yang ketika itu memimpin Taiwan sebagai negara otoriter satu partai. [my/jm] [uh/ab]