Sebagian anak-anak Suriah melewatkan seluruh hidup mereka dalam situasi perang. Bahkan mereka yang lolos dari konflik pun menghadapi konsekuensinya. Para pakar menyatakan perang yang berkepanjangan berdampak merusak bagi perkembangan fisik, mental dan pendidikan seluruh generasi warga Suriah.
Wartawan VOA Zlatica Hoke melaporkan nasib anak-anak Suriah yang dibahas para pakar dalam suatu forum di Washington, Senin (16/4).
Sekitar 2 juta anak-anak di Suriah diperkirakan tidak bersekolah, dan hampir 1 juta lainnya yang telah meninggalkan negara itu juga tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Setengah dari anak-anak yang bersekolah di Suriah menyatakan mereka merasa tidak aman. Para petugas bantuan kemanusiaan merekam sebagian dari apa yang dikatakan anak-anak itu.
Di antaranya adalah Amy Richmond dari LSM Save the Children.
"Abud, usia 12 tahun, memberitahu kami, ‘Saya selalu merasa marah sepanjang waktu.' Rihab, delapan tahun, dari Aleppo, mengatakan, ‘Saya takut pergi ke sekolah karena akan ada pesawat yang mengebom kami.’ Aliya, 12 tahun, mengatakan kepada kami, ‘Saya akan bingung kalau tidak mendengar atau tidak melihat serangan udara karena serangan-serangan itu terjadi begitu sering',” jelasnya.
Amy Richmond pernah bekerja menangani anak-anak Suriah yang terlantar di Yordania, Lebanon dan Turki, serta mereka yang mengungsi di dalam wilayah Suriah.
"Save the Children memperkirakan bahwa, pada saat kita berbicara sekarang ini, setiap jam ada lebih dari 250 anak-anak yang mengungsi bersama keluarga mereka. Dampak psikologis dari mengalami dan menyaksikan kekerasan ini, yang diperparah oleh berbagai dampak buruk lainnya akibat pengungsian ini, menimbulkan situasi yang kami sebut stress yang berbahaya," tambahnya.
Para pakar menyatakan stres dan trauma menghambat pertumbuhan fisik dan mental anak-anak, dan bahwa anak-anak yang mengalami trauma sangat parah tidak dapat belajar. Hampir setiap anak Suriah terimbas oleh perang.
Mereka yang selamat kemungkinan besar memiliki sedikitnya seorang kerabat yang tewas terbunuh. Anak-anak di kamp-kamp pengungsi kerap kali menjadi sasaran penghinaan dan perlakuan sewenang-wenang.
"Masalahnya adalah, apakah manjur, adakah dampak dari apa yang dilakukan guru dan terapis sewaktu pelecehan terus berlangsung? Semua jenis pelecehan, dan katakanlah ini adalah perlakuan sewenang-wenang yang parah. Dan itulah yang sedang terus terjadi," kata Dokter Mohamed Khaled Hamza dari Syrian American Medical Society.
Departemen Luar Negeri Amerika bekerja sama dengan sejumlah komunitas lokal di Suriah Timur laut untuk membantu merehabilitasi anak-anak usia sekolah. Seni, menari dan berakting membantu anak-anak menghadapi sebagian kepedihan mereka. Anak-anak itu juga harus belajar berinteraksi satu sama lain sebelum masuk kelas.
"Anak-anak, dari yang semula berkeliaran di jalan-jalan, atau tidak memiliki struktur formal untuk duduk di dalam kelas selama lima, enam, tujuh, delapan jam sehari, tidak akan mampu menyimak dan belajar. Jadi, kita harus mengatasi begitu banyak masalah kejiwaan, trauma kejiwaan, sebelum kita dapat membuat mereka belajar ABC dan 1-2-3,” kata Catherine Bou-Maroun dari Departemen Luar Negeri Amerika.
Para pakar memperingatkan bahwa perang di Suriah menciptakan suatu “generasi yang hilang” yang akan menimbulkan konsekuensi merusak bagi negara itu, yang harus melakukan pembangunan kembali begitu perang berakhir. [uh/ab]