Laporan VOA tentang penandatangan deklarasi persaudaraan bersejarah, yang menyuarakan perdamaian di antara negara, agama dan ras, oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada awal pekan ini, memicu dialog hangat netizen.
Dialog itu dipicu oleh salah satu bagian penting laporan itu menyorot otokritik bagi semua bahwa “Tuhan Yang Maha Besar tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang.” Hal yang sama sebenarnya sudah disampaikan mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid 22 tahun lalu.
Imron Fauzi mengomentari laporan itu dengan mengatakan “TUHAN TAK PERLU DIBELA karena Tuhan sudah Maha Segalanya. Bela lah mereka mereka yang diperlakukan dengan tidak adil.”
Herni Sofia menulis di Facebook, “penganut agama tertinggi seperti mereka inilah yang betul-betul paham bahwa agama Islam dan Kristen sesungguhnya adalah saudara satu aliran darah yang bermuara ke Sang Pencipta, yaitu Tuhan Allah SWT. Cuma saja bagi oknum beragama yang kurang paham menganggap agama merekalah yang paling baik dari agama yang lain.”
Pemilik akun Eleonora Nataline mengatakan “kemarin aku bilang Tuhan tidak perlu dibela. Dia Maha Kuasa. Kalian tahu? Aku di-bully dan langsung dikafir-kafirkan...”
Sementara Yahya Farid yang menilai “membela Tuhan jangan dimaknai dari kata-katanya saja. Maknailah secara hakikatnya. Kalau diartikan seperti yang tertulis, Anda akan tersesat dalam berpendapat.”
Netizen Kritisi Deklarasi Perdamaian Abu Dhabi
Sebaliknya pemilik akun Deni Ratna Aziz mengecam laporan itu dengan mengatakan “Jika agama Allah tidak dibela oleh umat-Nya, lalu oleh siapa lagi. Lihat perjuangan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya yang membela agama Allah dengan harta dan nyawa mereka korbankan, jika tidak ada mereka maka Islam tidak akan pernah ada di dunia ini. Ingat itu. Karena memang sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kalian karena Allah Maha Segalanya, tapi Allah mau menguji kalian.”
Juga Abdul Aziz Setiawan yang menulis “kamuflase modern supaya ideologi laknat mereka bisa bergerak bebas, BASI!!!”
Demikian pula Ofanda Bihao S. yang mengatakan “Tuhan tidak perlu dibela, jadi kita biarkan aja gitu siapa pun yang menghina agama Tuhan? Gitu?”
Di tengah perdebatan sengit netizen, ada pula yang berupaya menengahi.
Seperti Al Akh Syafe'i yang mengatakan “yang comment kebanyakan kagak baca ampe habis dan kagak paham, jadinya keliatan dungu. Makanya pada asal klaim.. Padahal maksud Tuhan tidak perlu dibela itu buat para ekstremis teroris yang membunuh orang agama lain, seperti di Gaza, Myanmar, China, dll. Dan mereka bilang itu perintah Tuhan. Makanya alm. Gus Dur bilang begitu: Tuhan tidak perlu dibela...”
Juga Cornelia P. Vini Chandra yang menulis “komen-komen yang mencaci perjanjian ini pasti gak baca keseluruhan maksudnya. Agama lagi yang diseret-seret. Pemuka agama sudah menghilangkah sekat penghalang, pengikutnya masih gak mau keluar dari kotaknya... Beberapa orang yang tidak setuju pesan damai ini memang hidupnya lebih suka bermusuhan dan lebih memilih memenuhi pikiran dan hatinya dengan kebencian.”
Membagi Laporan di Medsos
Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Anshor – sayap pemuda Nadhlatul Ulama – yang ikut membagikan laporan VOA ini di akunnya memberi pengantar “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dunia membutuhkan agama sebagai inspirasi perdamaian dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan.” Hampir seribu orang memberi tanda “likes” pada laporan yang di-sharing di akunnya.
Sementara Yenny Wahid, salah seorang putri Gus Dur – demikian nama akrab mantan pemimpin Pengurus Besar Nadhlatul Ulama PBNU itu – menulis “he's ahead of his time and we're lucky kita pernah kenal beliau.”
Romo Siprianus Hormat, Sekretaris Eksekusif Kantor Waligereja Indonesia (KWI), memuji dokumen yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb. “Semoga akan bergema dan berdampak nyata dimana-mana.”
Hingga Kamis (7/2), laporan VOA itu dibaca lebih dari 425.000 orang dan dikomentari oleh lebih dari 19.000 orang.