Pemerintah Hong Kong Jumat lalu (4/10) melarang orang-orang mengenakan penutup wajah atau masker ketika mengikuti aksi-aksi demonstrasi, dengan memberlakukan kembali Ordonandi Peraturan Darurat era kolonial Inggris, yang terakhir kali digunakan untuk menyudahi aksi kerusuhan tahun 1967.
Wartawan VOA Brian Padden melaporkan langsung dari Hong Kong bagaimana undang-undang anti-penutup wajah yang kontroversial dan didukung kuat elemen-elemen pro-Beijing dalam badan legislatif, yang melihat aksi demonstrasi yang semakin kuat itu sebagai ancaman terhadap hukum dan ketertiban; sementara kelompok oposisi melihat undang-undang itu sebagai cara mencegah perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara damai.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam hari Jumat mengatakan undang-undang anti-penutup wajah yang baru dan berlaku mulai hari Sabtu (5/10) ditujukan untuk menarget perusuh atau mereka yang melakukan aksi kekerasan.
“Sangat penting untuk menghentikan aksi kekerasan dan mengembalikan ketenangan dalam masyarakat sesegera mungkin,” katanya.
Selama empat bulan terakhir ini, Hong Kong telah dilanda aksi kerusuhan ketika para aktivis demokrasi terlibat dalam strategi-strategi yang semakin konfrontatif untuk melawan apa yang mereka lihat sebagai upaya China membatasi otonomi dan kebebasan sipil Hong Kong.
Pendukung pemerintah Hong Kong membela langkah-langkah darurat terbatas sebagai kebutuhan untuk melindungi keselamatan publik.
Anggota badan legislatif Hong Kong Elizabeth Quat mengatakan, “Apa yang kita bahas merujuk pada kerusuhan, pertemuan ilegal. Jadi menurut kami undang-undang ini tidak akan menimbulkan dampak pada kehidupan warga sehari-hari, dan tidak akan menimbulkan dampak pada kebebasan berpendapat dan kebebasan berdemonstrasi warga Hong Kong.”
Di pusat kota Hong Kong ribuan demonstran pro-demokrasi pekan lalu menanggapi pemberlakukan undang-undang itu dengan mengenakan penutup wajah atau topeng pada demonstrasi saat jam makan saing.
Sebagian demonstran menyerang polisi dan menghancurkan properti. Sebaliknya polisi menggunakan meriam air, gas air mata dan peluru karet terhadap para pengunjukrasa.
Minggu lalu untuk pertama kalinya polisi menggunakan peluru tajam, dan menembak seorang mahasiswa berusia 18 tahun yang ikut berdemonstrasi pada hari jadi Partai Komunis China.
Penentang undang-undang penggunaan penutup wajah mengatakan langkah itu tidak akan mencegah elemen-elemen radikal dalam gerakan demokrasi.
Anggota badan legislatif Hong Kong James To mengatakan, “Orang-orang yang bekerja di badan-badan usaha negara milik China, di Hong Kong, mungkin ingin berdemonstrasi secara damai. Tetapi mereka tidak ingin menghadapi aksi pembalasan atau disingkirkan oleh investor China di balik perusahaan di mana mereka bekerja.”
Para anggota badan legislatif Hong Kong yang belum diperkenankan untuk melakukan pemungutan suara tentang langkah itu mengatakan penerapan undang-undang ini mengikis demokrasi di Hong Kong.
Salah seorang di antara mereka, Dennis Kwok, mengatakan, “Ini merupakan langkah kejam lebih lanjut, upaya membatasi kebebasan dan hak-hak warga Hong Kong, untuk merusak aturan hukum dan akhirnya tidak ada pengawasan legislatif sama sekali. Saya kira ini merupakan langkah yang berbahaya.”
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam sebelumnya juga mengatakan bahwa jika kerusuhan berlanjut maka pemerintahnya akan mempertimbangkan langkah-langkah darurat lanjutan. (em)