Dian Permata Sari bertekad melarikan diri ketika ia dibawa ke kantor perekrutan pembantu rumah tangga di Arab Saudi untuk ke enam kalinya dan dipamerkan di depan calon majikan bersama dengan 14 perempuan lain.
"Kami disuruh berbaris sementara calon majikan memilih yang mereka suka, seperti sedang berbelanja barang," ujar perempuan berusia 19 tahun itu.
Tertarik oleh janji agen untuk menghasilkan 1.500 riyal (Rp 5,3 juta) per bulan dengan bekerja sebagai pembersih kantor, Dian setuju November lalu untuk meninggalkan suami dan putranya yang berusia dua tahun untuk pergi ke Saudi.
Baru ketika ia tiba di sana, ia menemukan bahwa ia akan dijadikan pembantu rumah tangga. Ia dipaksa tinggal di kamar asrama yang penuh sesak dengan ratusan lainnya, tanpa pekerjaan dan upah, sampai ia akhirnya diselamatkan bulan lalu.
Kasus Dian menyoroti apa yang disebut para aktivis peningkatan kasus-kasus perdagangan manusia sejak pemerintah Indonesia pada 2015 melarang pengiriman tenaga kerja perempuan ke 21 negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, untuk menjadi pekerja domestik.
Larangan itu diberlakukan menyusul serangkaian kasus-kasus penyalahgunaan, namun tingginya permintaan di kerajaan kaya minyak itu telah mendorong para pedagang manusia mencari celah.
Mereka menggunakan semakin banyak taktik, seperti mengirim perempuan untuk menjadi tenaga pembersih kantor, mengubah jalur penerbangan untuk menghindari kecurigaan dari pihak berwenang, atau membayar keluarga mereka, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Pemerintah Indonesi mengatakan larangan tersebut ditetapkan untuk melindungi warga negara, tapi para aktivis mengatakan aturan itu membuat para pekerja migran berisiko lebih tinggi diperdagangkan.
Dipukuli dengan Pipa Air
Pembantu rumah tangga mencakup sepertiga dari enam juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kasus-kasus penyalahgunaan dan kondisi tempat tinggal yang seperti budak umum terjadi.
Tanpa pengalaman bekerja sebelumnya, Dian langsung mengambil kesempatan menjadi pembersih kantor di Riyadh setelah ia bertemu seorang agen.
Agen itu menerbangkan Dian dari tempat asalnya di Lombok ke Surabaya. Dari sana, Dian pergi ke Singapura sebelum ke Riyadh.
Begitu tiba, ia dikirim ke asrama dengan 400 perempuan lainnya, dan ponselnya disita.
Seringkali perempuan-perempuan itu hanya diberi satu pak mie instan untuk seharian dan sebotol kecil air yang dibagi untuk 15 orang.
"Saya protes dengan perempuan lain tapi kami dipukul dengan pipa air," ujar Dian kepada Thomson Reuters Foundation di tempat penampungan milik pemerintah di Jakarta, tempat ia menjalani konseling sebelum kembali ke rumah.
Setelah dua bulan, Dian berhasil menghubungi suaminya menggunakan ponsel yang ia sembunyikan.
Sang suami mengontak kelompok-kelompok migran lokal dan Dian akhirnya diselamatkan oleh diplomat-diplomat dari Kedutaan Besar Indonesia di Riyadh.
Perempuan-perempuan Indonesia lainnya menceritakan kisah serupa.
Hatmiati, 25, yang diselamatkan bersama dengan Dian, mengatakan seorang agen menjanjikan ia dikirim ke Singapura untuk menjadi pembersih.
"Saya mengepak barang-barang saya dan terbang dari Lombok ke Jakarta. Hanya setelah sampai di kantor agen mereka bilang tidak ada pekerjaan untuk saya di Singapura," ujarnya.
Uang Tunai untuk Keluarga
Kedua perempuan itu mengatakan mereka tidak tahu soal larangan pemerintah mengirim pembantu rumah tangga ke Timur Tengah dan bahwa agen-agen mereka tidak memperingatkan mereka mengenai konsekuensi melanggar aturan.
Dian dan Hatmiati mengatakan keluarga mereka masing-masing ditawari Rp 2 juta dan Rp 2,5 juta oleh agen-agen itu agar menyetujui keduanya pergi ke Timur Tengah.
Mulyadi dari kelompok hak asasi migran Migrant Care, yang telah membantu keluarga Dian dan Hatmiati, mendesak pemerintah untuk mengkaji larangan itu.
"Pemerintah seharusnya mengevaluasi kembali larangan itu karena melanggar hak-hak dasar seseorang untuk mencari pekerjaan di luar negeri<" ujar Mulyadi, salah satu pendiri kelompok itu.
Ia mengingatkan bahwa rencana pemerintah untuk berhenti mengirim perempuan ke luar negeri untuk bekerja sebagai pekerja domestik di negara mana pun sejak tahun ini akan memperburuk keadaan.
Pejabat senior Kementerian Tenaga Kerja, Soes Hindharno, mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation bahwa kantornya sedang bekerja dengan badan-badan lain untuk menindak perdagangan manusia.
Panggilan-panggilan telepon ke Kedutaan Besar Saudi di Jakarta tidak dijawab.
Setelah penderitaannya berakhir, Dian tidak sabar untuk bertemu kembali dengan keluarganya.
"Suami saya petani, saya cuma ingin mencari pekerjaan untuk membantunya mendapatkan penghasilan tambahan, membantu keluarga kami," ujarnya.
"Saya tidak memperkirakan ini terjadi." [hd]