Ini merupakan latihan angkatan laut pertama yang melibatkan beberapa negara anggota ASEAN, yang dilakukan di kawasan dekat Laut China Selatan yang sedang dipersengketakan.
Berbicara pada wartawan di depan sejumlah kapal perang yang akan ikut serta dalam latihan itu, Yudo Margono mengatakan latihan non-tempur selama lima hari ini mencakup operasi patroli maritim bersama, operasi SAR, dan operasi kemanusiaan dan bantuan dalam situasi bencana.
“Latihan ini merupakan perwujudan rasa solidaritas yang digagas dalam ASEAN Defense Force Meeting di Bali pada bulan Agustus lalu di mana Indonesia sebagai keketuaan ASEAN menggagas latihan solidaritas ini. Selama ini belum pernah kita laksanakan latihan seperti ini,” ujarnya.
Ia berharap latihan solidaritas ini dapat dilaksanakan setiap tahun untuk memperkuat sentralitas ASEAN, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengundang mitra-mitra ASEAN lainnya di masa depan. “Untuk kali ini saya ingin kita memperkuat sentralitas ASEAN dulu, nanti baru ada plus-nya. Kita sudah pernah melaksanakan latihan antara Indonesia dengan Australia, dengan Amerika, dengan China, dan bahkan dengan Rusia,” ujarnya.
Yudo Margono menepis anggapan bahwa latihan ini merupakan bagian dari upaya menghadapi sikap China yang semakin agresif di kawasan itu. “Tidak! Tidak ada itu. Sesuai ASEAN Defense Force Meeting waktu itu, semua yang kami lakukan ditujukan untuk menjaga keamanan di kawasan darat, laut dan udara. Jika kita bersatu maka kita bisa bersama-sama menjaga stabilitas kawasan sehingga bermanfaat untuk semua.”
Sementara kawasan Natuna Utara dipilih karena latihan gabungan ini juga akan disertai dengan bakti sosial di beberapa tempat di sepanjang rute latihan ini. Untuk itu pihak TNI menerjunkan KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang merupakan kapal rumah sakit bantu terbesar. Kapal ini akan dioperasikan dari Batam menuju ke Ranai (Natuna) dan Sabang-Mawang.
Yudo Margono mengatakan serangkaian latihan yang dilakukan di wilayah Indonesia dan melibatkan negara-negara tetangga dan mitra ini tidak lepas dari “upaya diplomasi” untuk “menjaga dan mempertahankan stabilitas di kawasan ini.”
Dalam pembukaan latihan gabungan ini ikut hadir pula Panglima Angkatan Tentara Malaysia Jendral Tan Sri Datuk Seri Mohammad bin Abd Rahman, Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand Laksamana Thani Kaewkao dan Panglima Angkatan Bersenjata Singapura Laksamana Madya Aaron Beng serta beberapa pejabat tinggi negara anggota ASEAN lainnya.
Dari Laut Natuna Utara ke Kepulauan Natuna Selatan
Panglima TNI Laksaman Yudo Margono semula mengatakan latihan non-tempur “ASEAN Solidarity Exercise Natuna” (ASSEX-01N) akan dilakukan di Laut Natuna Utara, di tepi Laut China Selatan. Namun kemudian memindahkan latihan ke Kepulauan Natuna Selatan, jauh dari wilayah yang disengketakan, yang tampaknya untuk menghindari reaksi dari China.
China Tegaskan Sikap atas Laut China Selatan
Meskipun demikian China hari Selasa menegaskan bahwa mereka memiliki “posisi yang jelas dan konsisten” atas Laut China Selatan, di mana ada tumpang tindih klaim dengan banyak negara Asia Tenggara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning menyampaikan hal ini pada hari dimulainya latihan solidaritas ASEAN di kawasan Natuna Utara, yang berdekatan dengan Laut China Selatan.
Negara-negara ASEAN telah pernah ikut serta dalam latihan angkatan laut dengan negara-negara lain, seperti Amerika, Australia dan China, tetapi latihan non-tempur yang dimulai Selasa ini adalah latihan pertama yang hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN, yang dinilai sebagai sinyal kepada China.
Nine Dash Line vs UNCLOS 1982
China, secara sepihak, menggunakan nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang mencakup kawasan seluas dua juta kilometer per segi, yang 90 persen di antaranya diklaim sebagai hak maritim historisnya. Awalnya dalam peta tahun 1947, pasca Perang Dunia Kedua, China menyebut eleven dash line atau sebelas garis putus.
Namun, setelah berseteru dengan Taiwan, pada tahun 1950-an, dua garis putus-puts dihilangkan dari peta itu dan tinggal sembilan saja. Jalur nine dash line ini membentang sejauh 2.000 kilometer dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia dan Vietnam.
Klaim sepihak ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia selusa kurang lebih 83.000 kilometer per segi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Tidak hanya Indonesia, beberapa negara lain, yaitu Filipina, Malaysia, Vietnam dan Brunei Darussalam, juga terkena imbasnya.
Indonesia telah menegaskan tidak akan pernah mengakui nine dash line, sebagaimana klaim China, karena tidak memiliki dasar hukum yang diakui hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UN Convention on the Law of the Sea UNCLOS tahun 1982.
UNCLOS telah menetapkan batas-batas zona ekonomi eksklusif setiap negara, terkait hak untuk melakukan eksploitasi dan lainnya di wilayah perairan mereka sesuai hukum laut internasional.
Putusan UNCLOS 1982 secara tegas menunjukkan bahwa perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Ini berarti Indonesia berhak menguasai kekayaan ekonomis di dalamnya, termasuk untuk melakukan kegiatan pertambangan dan eksplorasi, bernavigasi, menangkap ikan, menanam pipa kabel dan terbang di atas wilayah itu.
China sebenarnya juga ikut menandatangani UNCLOS itu, tetapi secara sengaja tidak pernah mendefinisikan makna nine dash line yang kerap diklaimnya. [iy/em/jm]
Forum