Menurut lembaga pengawas media, Remotivi, hasrat media massa untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya mendorong mereka memproduksi konten-konten yang laku bagi kelompok mayoritas.
Padahal, menurut peneliti Remotivi, Firman Imadudin, tak jarang konten itu membuat kelompok marjinal makin tersudutkan.
“Media itu logikanya pasar. Logikanya condong menghibur kelompok-kelompok penonton yang paling laku, paling banyak, dan paling menguntungkan. Condong ke mayoritas. Narasi-narasi populer lah yang mereka gunakan. Sementara itu semua membuat kelompok-kelompok yang sudah marginal ini makin termarjinalkan,” ujarnya dalam diskusi publik “Pemuda, Media, dan Toleransi,” di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/11) sore.
Riset yang dilakukan Institute for Global Change pada 2016 menunjukkan bahwa internet masih didominasi oleh kelompok yang menyuarakan radikalisme. Laman-laman internet yang membahas agama masih dikuasai kelompok ekstrem. Sementara kelompok moderat jauh tertinggal. Penelitian ini menunjukkan, dari 47 kata kunci seperti ‘jihad’ dan ‘Negara Islam’, 89 persennya menyuarakan ekstremisme sementara yang moderat hanya 11 persen. Riset ini dilakukan terhadap 870 laman internet.
Konten radikal, hoaks, dan berita tidak seimbang sangat merugikan kelompok minoritas, antara lain komunitas Ahmadiyah. Banyak laman internet yang menyuarakan kekerasan terhadap kelompok ini, belum termasuk berita-berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini diperparah dengan pemberitaan media massa yang hanya memuat pernyataan dari kelompok yang menolak Ahmadiyah.
Upaya Menggaet Media
Melihat situasi itu, sejumlah komunitas dan kelompok pendamping mulai mendekati media massa supaya menelurkan laporan dan informasi yang lebih arif. Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB) adalah salah satu komunitas yang kerap mendorong hal ini dalam beberapa tahun terakhir.
Palti Panjaitan dari Sobat KBB menjelaskan pihaknya melakukan silaturahmi ke sejumlah kantor media dan membangun hubungan dengan para wartawan. Hal itu, kata dia, membuat kelompok minoritas punya ruang bicara ketika aksi intoleransi kembali terjadi.
“Sehingga ketika saya konfirmasi, media itu akan menaikkan berita sehingga agak berimbang beritanya tidak hanya dari satu sumber. Artinya, butuh kita para kelompok rentan ini membangun komunikasi dengan media,” kata pendeta yang pernah melayani HKBP Filadelfia itu, menjelaskan.
Hal serupa juga dilakukan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang rutin mengundang wartawan untuk meliput kegiatan sosial mereka di masyarakat. Ketua Umum Pemuda Muslim Ahmadiyah, Mubarak Kamil, mengatakan hubungan dengan media telah membantu wartawan memproduksi pemberitaan yang lebih seimbang.
“Kita banyakin kegiatan-kegiatan offline yang bisa diterima masyarakat, yang pada dasarnya merupakan naluri orang Ahmadiyah. Kemudian kegiatan-kegiatan positif itu kita bungkus dan berikan ke media. Kita sadar betul, publikasi ini adalah corong yang sangat penting untuk menetralisir berita-berita yang selama ini ada terkait Ahmadiyah,” jelasnya.
Kamil bercerita, saat ini semakin banyak berita seimbang dan informatif terkait Ahmadiyah di internet. Hal ini berubah dari tiga tahun lalu ketika lebih banyak berita bias dan tidak akurat mengenai komunitasnya.
Sementara untuk melawan hoaks dan konten radikal, diperlukan pendidikan terhadap masyarakat. Direktur Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi (PKPD) Tebuireng, Roy Murthado, mendorong kelompok moderat merebut mimbar agama yang selama ini telah dimanfaatkan kelompok intoleran.
“Desas desus politik dan saluran-saluran kebencian, fabrikasi kebencian rasial dan etnisitas itu dikembangkan melalui kelompok-kelompok majelis taklim. Ruang-ruang sunyi, ber-AC, kedap udara dari kelompok kelas menengah yang tidak pernah kita intervensi dan tidak pernah kita pikirkan bagaimana merebut itu,” pungkas redaktur Islam Bergerak ini. [rt/em]