Sejumlah pakar berpendapat, pemahaman bahaya hoaks (berita bohong), serta bagaimana melawan penyebaran harus dimiliki oleh masyarakat, bila tidak ingin menjadi korban hoaks tersebut.
Penyebaran hoaks di masyarakat dipengaruhi oleh minimnya literasi atau budaya membaca, sehingga mudah sekali percaya terhadap informasi yang beredar melalui media sosial dan grup percakapan. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho, dalam diskusi mengenai Strategi Pengawasan Media Sosial mengatakan, cara berpikir masyarakat yang selalu merasa benar terhadap informasi yang diterima memperparah penyebaran hoaks.
“Literasi itu iya, tapi yang lebih parah adalah mindset, jadi mindset masyarakat yang merasa dia benar dengan kelompoknya, mindset dia malas untuk berpikir kritis, itu problem mindset, memang itu penyakit bangsa yang dampaknya sebenarnya tidak semua masalah hoaks saja, tapi juga masalah yang lain,” ujar Septiaji.
Penyebaran berita hoaks melalui media sosial menurut Septiaji, sebenarnya dapat dilawan dengan klarifikasi berita yang benar melalui media mainstream atau media massa umum, sehingga masyarakat segera mengetahui berita yang sebenarnya. Media dan jurnalis, kata Septiaji, didorong untuk memiliki kemampuan mengklarifikasi informasi di ranah digital yang saat ini banyak dipalsukan. Selain itu, masyarakat juga dapat ambil bagian dengan menjadi pelapor berita hoaks yang beredar, sehingga konten dan pembuat atau penyebar berita hoaks dapat segera ditindak secara hukum.
“Kita sedang mendorong untuk mengajak masyarakat menjadi agen yang aktif, bagian dari Siskamling Digital itu. Jadi mereka tahu mana yang dilaporkan, caranya melapor bagaimana supaya bisa tepat laporannya, sehingga hasilnya juga bisa berdampak,” imbuhnya.
Mahasiswa Universitas Surabaya, Gita Putri menuturkan hoaks sering muncul seiring munculnya peristiwa baru.
“Berita hoaks ini kan datang bersamaan dengan yang lagi hits-hitsnya, yang lagi tren-trennya, misalnya kayak bencana alam itu kan biasa munculnya langsung kaya berita-berita hoaks yang baru, jadi orang itu pada kayak lagi gencar-gencarnya tentang berita itu, jadi asal percaya saja sama berita hoaks yang ada,” ujar Gita.
Berita tidak hanya menyasar satu kalangan atau kelompok masyarakat, tapi seluruh lapisan dan golongan. Ketua Program Studi Magister Managemen Universitas Surabaya, Putu Anom Mahaduarta mengungkapkan, bahaya hoaks juga menyasar kelompok terpelajar termasuk dosen dan mahasiswa.
“Kita melihat ya di media sosial, di lingkungan WA grup gitu misalnya dosen-dosen gitu ya, mohon maaf saja, walaupun pendidikannya tinggi kan tentang echo chamber itu memang terjadi. Bahkan itu orang-orang yang berpendidikan tinggi sekalipun," ungkap Putu.
"Jadi mereka sudah seperti kaca mata kuda kan, ya ada beberapa yang begitu, dan itu kan memperparah situasi, kenapa karena kita itu pendidik, ya kalau pendidiknya saja begitu bagaimana mahasiswanya. Kalau hoaks itu tersebar itu bisa menyebabkan efek yang negatif kepada lingkungan sekitar, kepada masyarakat. Kami tidak mau mahasiswa itu menjadi penyebar hoaks, padahal dia pintar, kan sia-sia. Kalau kita menyebarkan hoaks itu selain melanggar hukum juga ada masalah etika,” tambahnya.
Mengatasi persoalan berita hoaks, Septiaji menawarkan solusi jangka pendek melalui pelibatan tokoh dan publik figur, yang suaranya dapat didengarkan oleh masyarakat.
“Jangka pendek yang bisa kita dorong itu pendekatan top-down, yaitu pendekatan melalui tokoh-tokoh publik, melalui para publik figur, tokoh etnisnya, tokoh agama, karena suara mereka itu berbeda kalau kita yang bicara. Mereka akan lebih didengar ke komunitasnya, ke kolompoknya. Nah, kita dalam proses untuk membangun jejaring itu, membuat gerakan-gerakan diskusi atau sarasehan, silaturahmi, audiensi, itu salah satu (cara) mengajak bahwa, eh anda ini tokoh publik itu punya kewajiban juga sebagai salah satu ambassador atau duta-duta untuk melawan penyebaran hoaks,” pungkas Septiaji. [pr/ab]