Lebih dari 200 demonstran prodemokrasi ditangkap di Hong Kong pada Minggu malam, setelah melancarkan aksi duduk di sebuah pusat perbelanjaan di distrik Mong Kok.
Pihak berwenang menyatakan 230 demonstran berusia antara 12 dan 65 tahun ditangkap dan dikenai dakwaan melakukan pertemuan yang melanggar hukum, tidak dapat menunjukkan bukti identitas diri dan berbagai pelanggaran lainnya.
Protes itu adalah satu di antara beberapa demonstrasi lebih kecil yang diadakan di beberapa pusat perbelanjaan di wilayah China yang semiotonom itu. Partisipan unjuk rasa menyanyi, berteriak-teriak dan membawa poster berisi tentangan terhadap pihak berwenang setelah mereka tidak diberi izin mengadakan pawai Hari Ibu.
Polisi anti huru-hara menggunakan semprotan cabai untuk membubarkan demonstran.
Ketegangan politik meningkat di Hong Kong setelah kantor perwakilan tertinggi Beijing di kota itu menyatakan tidak terikat undang-undang yang membatasi campur tangan oleh badan-badan lainnya di China daratan.
Dalam beberapa pekan belakangan, otoritas penegak hukum Hong Kong menangkap 15 aktivis prodemokrasi, termasuk Martin Lee, 81 tahun, suatu langkah yang dikecam Amerika.
Sebelum wabah COVID-19, Hong Kong dilanda protes antipemerintah besar-besaran selama berbulan-bulan pada tahun lalu. Protes ini awalnya dipicu oleh RUU ekstradisi yang kontroversial. Protes kemudian berubah menjadi tuntutan bagi demokrasi yang lebih besar.
Hong Kong menikmati otonomi yang cukup luas berdasarkan konsep “satu negara, dua sistem,” sejak Inggris menyerahkan wilayah ini kembali ke Beijing pada tahun 1997. Tetapi banyak warga Hong Kong yang khawatir otonomi ini terus menerus terkikis oleh pemerintah pusat yang semakin mencampuri urusan teritori ini. [uh/ab]