Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan sebanyak 58,7 persen responden berpendapat bahwa pemerintah harus berupaya agar harga BBM tidak dinaikkan, meski harus menambah utang dan harga minyak dunia meningkat. Sedangkan responden yang menyetujui harga BBM dinaikkan untuk mengurangi beban APBN mencapai 26,5 persen.
Survei ini dilakukan 13-21 Agustus 2022 melibatkan 1.220 responden yang diwawancara secara langsung dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen.
"Jadi kebijakan menaikkan harga BBM itu bukan kebijakan yang populer. Nanti kita lihat keputusan pemerintah menaikkan BBM, apakah memiliki efek negatif terhadap kinerja presiden," jelas Djayadi Hanan saat merilis hasil survei, Minggu (4/9/2022).
Hasil survei juga menunjukkan mayoritas responden lebih setuju dengan pendapat bahwa pemberian subsidi sebaiknya diberikan pada harga barang daripada subsidi tunai langsung kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan. Hal ini diyakini akan membuat harga barang lebih terjangkau dan bisa dinikmati masyarakat.
Pemerintah pada Sabtu (3/9), menaikkan harga Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu, solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800, dan Pertamax non-subsidi naik dari Rp12.500 menjadi Rp14.500. Kenaikan tersebut diklaim tak dapat dihindari karena lonjakan besaran subsidi BBM dari pagu yang telah ditetapkan pemerintah dan DPR dalam APBN 2022.
Sementara itu, di sisi lain, pemerintah juga mengalokasikan perlindungan sosial tambahan senilai Rp24,17 triliun yang terdiri dari tiga jenis bantuan sosial. Bantuan ini diberikan sebagai dampak ikutan dari kenaikan harga BBM.
Aplikasi MyPertamina
Mayoritas warga juga tidak setuju jika pemerintah akan menerapkan kebijakan pembelian pertalite dan solar menggunakan aplikasi MyPertamina agar tepat sasaran.
"Hanya 21 persen masyarakat yang setuju dengan penggunaan aplikasi MyPertamina. Sekitar 73 persen menyatakan tidak setuju dengan penggunaan aplikasi," tambahnya.
Survei LSI juga menyebutkan ekonomi dalam kondisi sedang atau 46 persen. Sedangkan yang menilai baik atau sangat baik dan buruk atau sangat buruk relatif sama sekitar 26 persen. Karena itu, responden menilai ada tiga masalah yang paling mendesak harus diselesaikan pemimpin nasional dalam lima tahun ke depan. Ketiganya adalah pengendalian harga-harga kebutuhan pokok, lapangan pekerjaan atau pengangguran, dan pengurnagan kemiskinan.
Pengamat: Kebijakan Energi Harus Berkelanjutan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai wajar pendapat masyarakat yang tidak ingin tahu penyebab kenaikan harga BBM. Karena itu, kata dia, pemerintah perlu mensosialisasikan penyebab kenaikan harga BBM kepada masyarakat. Semisal karena dampak perang Rusia-Ukraina dan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai $105/barel.
"Apalagi sebenarnya kebijakan pemerintah tentang harga minyak tidak disubsidi lagi. Sehingga akan naik turun sesuai harga minyak dunia, karena kita masih tergantung impor," jelas Aviliani.
Aviliani mengingatkan pemerintah yang hanya memikirkan energi terbarukan atau efisiensi BBM saat harga BBM naik. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu terus dilakukan meskipun harga BBM sedang turun sehingga bisa berkelanjutan.
Kendati demikian, Aviliani sependapat dengan pemerintah yang menaikkan harga BBM untuk kesehatan APBN. Menurutnya, keputusan tersebut dibutuhkan untuk memberi kepastian kepada masyarakat sehingga inflasi tetap terjaga.
"Yang penting adalah kebijakan itu harus pasti. Karena kalau menduga-duga justru menyebabkan ketidakpastian dan inflasinya berlipat-lipat."
Ia menjelaskan kenaikan harga BBM dapat berdampak kepada harga pangan yang kini sudah mengalami kenaikan. Karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam ketersediaan pangan. Sebab, kata dia, pemerintah daerah lebih memahami persoalan di daerah ketimbang pemerintah pusat. [sm/ah]
Forum