Mahkamah Agung (MA) Israel, Senin (4/5), membuka sidang argumentasi yang mempersoalkan legalitas kesepakatan koalisi yang dibentuk PM Benjamin Netanyahu dengan saingannya Benny Gantz, sehari setelah sebelumnya mempertimbangkan secara seksama apakah pemimpin yang sudah lama menjabat itu bisa memimpin pemerintahan sewaktu didakwa melakukan kejahatan serius.
Keputusan MA, yang diperkirakan akan dihasilkan pada akhir pekan ini, akan menetapkan apakah Israel akhirnya berhasil mengatasi kelumpuhan politik dengan bergabungnya Netanyahu dan Gantz dalam pemerintahan, ataukah negara itu akan terpaksa kembali melangsungkan pemilu keempat secara berturutan dalam waktu setahun.
Sidang yang disiarkan secara langsung melalui televisi ini juga menggambarkan klimaks dramatis usaha Netanyahu dalam mempersoalkan lembaga hukum tertinggi Israel.
Netanyahu dan sekutu-sekutunya telah lama menganggap MA sebagai benteng liberal yang bertindak di luar batas karena mencampuri urusan politik. Mereka menganggap MA tidak mempedulikan keinginan rakyat yang tercermin dalam pemilu. Sementara itu, para saingan Netanyahu menganggap MA sebagai pelindung tertinggi demokrasi Israel yang kini berada dalam ancaman pemimpin yang pandai menghasut hati rakyat.
Sementara protes berlangsung di luar ruang sidang, panel 11 hakim agung, semuanya mengenakan masker dan dipisahkan satu sama lain dengan penghalang plastik, mendengarkan kasus yang mempersoalkan koalisi yang sedang bangkit itu.
Setelah mengalami kebuntuan dalam tiga pemilu, Netanyahu dan Gantz akhirnya mencapai kesepakatan bulan lalu untuk membentuk pemerintah darurat untuk memerangi wabah virus corona dan dampak ekonominya. Dalam kesepakatan itu, mereka akan bergantian menjabat perdana menteri. Netanyahu akan menjabat pada 18 bulan pertama, dan kemudian digantikan Gantz untuk 18 bulan berikutnya. (ab/uh)