Ketua Liga Tembakau Zulvan Kurniawan manyayangkan keputusan pemerintah yang kembali akan menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Kepada VOA, Zulvan menuturkan kebijakan tersebut merupakan bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap sektor industri hasil tembakau (IHT) dari hulu sampai hilir. Ia mengibaratkan, sektor IHT selalu menjadi sapi perah bagi pemerintah. Pada tahun 2020-2021 misalnya, cukai hasil tembakau telah dinaikkan sebesar 21 persen, dan harga jual eceran juga naik sebesar 35 persen di saat perekonomian belum pulih akibat dihantam pandemi.
“Kalau seperti itu terus IHT juga tidak pernah punya kepastian dan ekstensifikasi cukai tidak pernah dibicarakan. Yang jadi problem adalah selalu IHT yang digorok setiap tahun dari hulu sampai hilir, dari petani sampai ke pabrik dan buruh pabriknya. Jadi selama ini IHT cuma bisa menyuarakan penolakan tanpa pernah didengarkan oleh pemerintah. Sudah bertahun-tahun seperti itu,” ungkap Zulvan.
Lanjutnya, dampak dari kenaikan CHT setiap tahunnya adalah gelombang PHK dari industri tersebut yang mencapai 10 persen. Selain itu, katanya, tingkat peredaran rokok ilegal akan semakin meningkat, yang tentunya akan merugikan negara.
Ia menambahkan, kenaikan CHT ini selalu dijadikan alasan pemerintah guna menurunkan tingkat prevalensi jumlah perokok di tanah air. Namun faktanya, kata Zulvan, sejak kebijakan kenaikan CHT ini diberlakukan pada tahun 2007, jumlah perokok selalu meningkat.
“Sekarang yang dilihat data pravelansinya. Dengan dinaikkan cukai setiap tahun, apakah prevalensi kita turun atau naik? Masalahnya adalah prevalensi kita selalu naik, walaupun cukainya dinaikkan. Artinya apa? Ya ngapain dinaikkan terus cukainya, artinya kebijakannya tidak bisa terus dipaksakan dari sisi itu. Butuh kebijakan yang lain, (misalnya) literasi ditingkatkan, kesadarannya ditingkatkan bahwa yang boleh merokok itu hanya umur 18 tahun ke atas, merokok harus pada tempat yang sudah ditentukan, dan lain-lain,” paparnya.
Zulvan berharap pemerintah kembali mempertimbangkan kebijakan kenaikan CHT yang dilakukan setiap tahun. Ia menilai kenaikan CHT tidak harus dinaikkan setiap tahun. Selain itu, besaran kenaikan cukai tersebut juga sangat menyulitkan sektor IHT itu sendiri.
“Kenapa sih cukai harus dinaikkan tiap tahun? Karena harus disesuaikan dengan (target pendapatan) APBN dan ini juga penyakit. Sampai kapan pemerintah akan bergantung dengan pendapatan dari cukai rokok? Kalau bisa ditinjaunya ya setiap lima tahun (sekali) kenaikan cukai. Kenapa harus tiap tahun ditinjau? Karena ya jelas, acuannya adalah APBN, pajak kita penerimaannya berapa, salah satu faktor dari pajak adalah cukai itu,” tuturnya.
“Sudah menjadi tradisi kita bahwa ini harus naik setiap tahun. Ok kalau harus naik tiap tahun, tapi jangan sampai mencekik, paling tidak sesuaikan dengan inflasi. Masa inflasinya cuma 4-5 persen, kenaikannya 10 persen?,” tegasnya.
Kenaikan Cukai Hasil Tembakau
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan tarif CHT diberlakukan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Sementara, kenaikan CHT golongan sigaret kretek tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ungkap Sri Mulyani.
Selain itu, Presiden Jokowi juga meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, Sri Mulyani menuturkan, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan enam persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama lima tahun ke depan,” lanjutnya.
Dalam penyusunan instrumen kenaikan tarif CHT ini, ujar Menkeu, pemerintah telah mempertimbangkan dari segala aspek, termasuk tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Tingkat konsumsi rokok, yang masih menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras, juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT tersebut. Bahkan, katanya, konsumsi rokok melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
“Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen Untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan. Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” paparnya.
Ia berharap keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT ini bisa mengendalikan baik konsumsi maupun produksi rokok, dan dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat.
“Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum