Tahanan HAM China Liu Xiaobo hari Kamis (13/7) meninggal dunia dalam usia 61 tahun. Perjuangannya melawan penyakit kanker hati mendapat sorotan luas sehingga membuat kematiannya sama kontroversialnya dengan kehidupannya.
Liu, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, yang melalui delapan tahun terakhir hidupnya sebagai tahanan politik, meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Shenyang, China.
Ia dipindahkan ke sana dari sel penjaranya pada waktu penyakitnya memasuki stadium akhir. Hari-hari terakhirnya ditandai dengan perselisihan terbuka mengenai kualitas perawatan yang ia terima dan penolakan Beijing terhadap permintaan keluarganya agar ia dikirim ke Amerika Serikat atau Jerman untuk menjalani pengobatan.
Liu telah lama dikenal sebagai pembangkang yang berbicara blak-blakan. Sewaktu bekerja sebentar sebagai penulis populer dan dosen di universitas, ia dikenal karena kritiknya terhadap kebudayaan tradisional China dan karena ia mendesak sesama cendekiawan agar lebih banyak menunjukkan karakter masing-masing.
Kariernya yang menjanjikan berubah drastis pada musim semi 1989, sewaktu ia mempersingkat pekerjaannya sebagai dosen tamu di Columbia University di kota New York dan kembali ke tanah airnya untuk bergabung dengan protes-protes yang dipimpin mahasiswa di Lapangan Tiananmen.
Menyusul penumpasan dengan kekerasan oleh pemerintah yang dikenal warga China sebagai Pembantaian 4 Juni, Liu dicap sebagai anggota kelompok rahasia yang terlibat aktivitas kriminal dan dipenjarakan.
Setelah dibebaskan tahun 1991, dia terus menyerukan reformasi politik.
“Apabila ada kemajuan dalam masyarakat dan politik China dalam 20 tahun terakhir, itu semua karena rakyat telah menuntut perubahan. Pada akhirnya, perubahan akan terjadi apabila masalah terus muncul dan banyak orang khawatir,” ungkap Liu.
Liu divonis hukuman penjara selama 11 tahun pada 2009. Setahun kemudian, namanya mendunia, setelah menjadi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian.
Thorbjorn Jagland, Ketua Komite Nobel Norwegia, mengatakan pada saat mengumumkan keputusannya, “Komite Nobel Norwegia telah memutuskan untuk menganugerahi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2010 kepada Liu Xiaobo atas perjuangannya yang panjang dan tanpa kekerasan demi HAM di Tiongkok.”
Penghargaan itu mengakui peran banyak warga Tionghoa di dan luar China untuk menegakkan hak-hak universal.
Liu Xiaobo mengatakan, “Pihak berwenang memiliki kuasa, mereka bisa menangkap orang, kita tidak punya wewenang, tapi kami bisa mengatakan kami tidak mendukungnya, kami menentangnya.”
Liu masih kurang tiga tahun lagi sebelum masa tahanannya habis ketika dia meninggal dunia. Isteri yang telah dinikahinya 21 tahun, Liu Xia, menulis kehidupan mereka lewat puisi.
"Saya senang menggambar pohon; kenapa? Saya senang melihatnya berdiri. Kehidupan yang dihabiskan dengan berdiri pasti melelahkan, katamu; saya jawab, ya, tapi harus saya lakukan.”
Sementara itu, komite Nobel Norwegia hari Kamis mengatakan pemerintah China menanggung beban “tanggung jawab berat” atas meninggalnya pemenang Nobel Liu Xiaobo.
“Kami sangat kecewa karena Liu Xiaobo tidak ditransfer ke fasilitas dimana dia bisa mendapatkan perawatan medis memadai sebelum dia sakit parah,” kata Berit Reiss-Anderssen.
"Pemerintah China mengemban tanggung jawab besar atas kematiannya yang terlalu dini,” katanya dalam pernyataan email.
Pemimpin HAM PBB menyatakan “kesedihan mendalam” atas kematian Liu. Mengatakan dalam pernyataan bahwa gerakan HAM telah kehilangan “pemimpin yang menegakkan prinsip.” [uh/vm]