Tautan-tautan Akses

Lonjakan Suhu Kutub Utara Mungkin Terkait dengan Serbuan Udara Dingin di Eropa


Seorang pria berdiri di depan situs kuno Colosseum yang diselimuti salju di Roma, Senin, 26 Februari 2018 (foto: AP Photo/Alessandra Tarantino)
Seorang pria berdiri di depan situs kuno Colosseum yang diselimuti salju di Roma, Senin, 26 Februari 2018 (foto: AP Photo/Alessandra Tarantino)

Suhu di Kutub Utara hari-hari belakangan ini telah melonjak di atas titik beku, yang meningkatkan kekhawatiran bahwa perubahan iklim mempengaruhi sistem atmosfir planet jauh lebih cepat dibandingkan prediksi sebelumnya.

Kepulauan Svalbard di Norwegia terletak jauh di atas Lingkar Kutub Utara. Di sana seharusnya masih terhitung akhir musim dingin, dan matahari tidak akan terbit di atas cakrawala untuk tiga minggu ke depan, namun demikian es di sana mencair. Ombak menyapu garis pantai teluk yang beberapa tahun yang lalu kondisinya masih dalam keadaan membeku. Mobil-mobil salju terperangkap dalam lelehan air berlumpur.

Dalam kurun waktu 30 hari, suhu di Svalbard telah melonjak 10 derajat Celsius di atas rata-rata, dan data dari stasiun cuaca menunjukkan bahwa suhu di Kutub Utara bahkan telah meningkat di atas titik beku.

“Kita telah menyaksikan apa yang disebut dengan kejadian musim dingin yang hangat sebelumnya. Namun apa yang kita ketahui musim dingin yang hangat menjadi semakin sering terjadi, mereka bertahan lebih lama, dan semakin intens juga,” ujar ahli iklim NASA, Alek Petty, kepada VOA.

Kutub Utara yang Hangat, Benua Eropa yang Dingin

Siklon bertekanan rendah yang hangat semakin mengarah ke Kutub Utara. Di saat yang sama, lapisan es laut musim dingin berada pada kondisi terendahnya. Kalangan ilmuwan mengatakan kawasan kutub utara menghangat dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global.

“Samudra menyimpan suhu hangat dalam jumlah besar, dan segera setelah lapisan es di laut menghilang maka suhu panas ini intinya dapat naik ke atmosfir, dan kami kira lapisan es yang tipis ini sekarang mendapatkan lebih banyak udara panas,” ujar profesor G.W.K. Moore dari the University of Toronto.

Suhu udara di kutub utara yang hangat berbarengan dengan serbuan udara dingin yang tidak biasa di seluruh Eropa. Suhu di Jerman telah anjlok hingga minus 27 derajat Celsius, sementara di Ukraina cuaca buruk telah menyebabkan padamnya jaringan listrik. Salju telah menyelimuti Colosseum di Roma dan pantai-pantai dengan jajaran pohon palem di Teluk Napoli.

Sebuah teori yang dikenal sebagai “Kutub Utara yang hangat, benua yang dingin” menunjukkan bahwa angin yang mengitari Kutub Utara dan biasanya menjaganya tetap dingin, yang dikenal sebagai vorteks kutub, menjadi tidak stabil. Udara hangat semakin terbawa masuk dan udara dingin dialirkan ke kawasan garis lintang yang lebih rendah.

“Apakah hilangnya lapisan es di lautan dan menghangatnya suhu dengan cepat yang kita saksikan di kawasan Kutub Utara membuat kemungkinan serbuan udara dingin di Eropa, katakanlah, menjadi lebih sering terjadi? Dan itu adalah persoalan yang lebih dapat menimbulkan perdebatan di sini. Sayangnya, kita tidak memiliki data dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar Petty.

Persilangan jet stream

Tigapuluh kilometer ke atas, ada juga apa yang disebut menhangatnya stratosfer secara tiba-tiba yang memiliki pengaruh besar pada cuaca, ujar Moore.

“Intinya, aliran udara ini bersilangan dengan jet stream, yang adalah inti dari angin kencang yang mengitari bumi. Dan jet stream yang bersilangan dengan udara ini sekarang mengarang ke Eropa di bawah pengaruh angin timur yang datang dari Siberia,” ujarnya.

Dalam jangka pendek, anjloknya suhu menyebabkan kekacauan perjalanan di Eropa, dengan penutupan beberapa bandara, dan jaringan kereta api dan jalan-jalan yang terhambat.

Dalam jangka panjang, dampaknya – meskipun belum dipahami secara penuh – kemungkinan bisa jauh lebih serius untuk planet ini secara keseluruhan. [ww]

XS
SM
MD
LG