Hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) akan menjadi tiga partai politik dengan perolehan suara terbesar pada pemilihan umum 2019.
Ketiga partai tersebut akan memperoleh suara di atas sepuluh persen, kata Rully Akbar, peneliti LSI, dalam jumpa pers di kantor LSI, Rabu (24/1). PDIP akan meraup 22,2 persen, Golkar mendapat 15,5 persen, dan Gerindra meraih 11,4 persen suara, kata Rully menjelaskan.
LSI merilis hasil survei yang dilakukan pada 7 Januari-14 Januari 2018, dengan melibatkan 1.200 responden dan menggunakan metode wawancara tatap muka.
“Partai inilah, PDIP, Golkar dan Gerindra yang punya perolehan angka di atas 10 persen. Ini kita anggap partai papan atas. Ini ibaratnya the big three untuk Januari 2018 PDIP, Golkar dan Gerindra,” kata Rully.
Rully menambahkan akan hanya ada dua partai politik , yaitu PDIP dan Partai Golkar, yang perolehan dukungan (elektabilitas) di atas perolehan suaranya pada pemilihan umum 2014.
Elektabilitas PDIP saat ini sebesar 22,2 persen, lebih besar dibanding perolehan suaranya pada pemilihan umum 2014, yakni 18,95 persen. Sedangkan elektabilitas Partai Golongan Karya sebesar 15,5 persen, lebih tinggi dibanding perolehan suara pada pemilihan umum 2014, yaitu 14,persen.
Pergantian kepemimpinan, elektabilitas Partai Golongan Karya merambat naik dibanding dua survei LSI Denny JA sebelumnya, kata Rully menambahkan. Sebaliknya, perolehan suara PDIP menurun ketimbang dua survei LSI Denny JA sebelumnya.
Menurut Rully ada tiga alasan kenapa elektabilitas Partai Golongan Karya meningkat. Pertama, pemilih yang sebelumnya lari ke partai lain, terutama PDIP, kembali ke kandang partai beringin tersebut. Kedua, ketua umum baru, Airlangga Hartarto memberi harapan baru bagi Partai Golongan Karya. Airlangga yang dikesankan bersih dan berintegritas membangun kembali kredibilitas partai yang diterpa kasus korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik, yang melibatkan ketua umum sebelumnya, Setya Novanto. Setya Novanto menjadi terdakwa dalam perkara tersebut.
Ketiga, lanjut Rully, tiga program pro-rakyat yang dikampanyekan Partai Golongan Karya disukai luas oleh pemilih.
Menurut dia, hasil survei LSI menunjukkan pula ada lima partai lama yang belum pasti lolos dari ambang batas suara untuk memiliki kursi di parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan sebesar empat persen. Kelima partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Hati Nurani Rakyat, karena dukungannya rata-rata masih di bawah empat persen.
Berdasarkan hasil survei LSI, elektabilitas Hanura sebesar 0,7 persen, PAN (2,0 persen), PPP (3,5 persen), PKS (3,8 persen), dan Nasional Demokrat (4,2 persen). Namun karena tingkat kesalahan dari survei tersebut 2,9 persen, Nasional Demokrat belum aman dari ambang batas parlemen.
Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Johnny Gerald Plate, mengatakan hasil survei tersebut hanya memandang elektabilitas, sehingga sangat wajar semakin senior suatu partai akan semakin terkenal. Meski demikian, partainya, kata Johnny, tidak khawatir dengan hasil survei tersebut.
Sementara Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Mardani Ali Sera, menyatakan survei itu akan menjadikan masukan bagi partainya.
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta, Gun gun Heryanto, mengatakan hasil survei yang dilakukan LSI ini dapat dijadikan peringatan awal bagi partai-partai yang disebut terancam tidak lolos ambang batas parlemen dalam pemilu 2019.
Dia menilai adanya konflik internal dalam partai dan juga ketergantungan yang sangat kuat terhadap seorang figur dalam partai sementara figur tersebut tidak mendorong naiknya perolehan suara juga menjadi penyebab menurunnya jumlah suara suatu partai.
“Faktornya yang menurunkan konflik internal seperti yang dialami Hanura, PPP atau partai-partai yang tidak punya basis massa tradisional. Contohnya, partai-partai yang mungkin menengah tetapi tidak cukup kuat untuk menyakinkan basis pemilih dan basis pemilihnya kemudian tidak memiliki afiliasi kuat pada partai yang bersangkutan sehingga kemudian nyaris menjadi hambatan terutama dalam konteks memastikan pilihan pemilih pada partai,” kata Gun Gun.