Tautan-tautan Akses

MA Jepang: UU Sterilisasi Paksa Inkonstitusional


Para korban sterilisasi paksa berdasarkan undang-undang eugenika yang sekarang sudah tidak berlaku, bersama para pengacara dan pendukung mereka, merayakan keputusan pengadilan tinggi Jepang di luar Mahkamah Agung Jepang di Tokyo, 3 Juli 2024. (Yuichi YAMAZAKI / AFP)
Para korban sterilisasi paksa berdasarkan undang-undang eugenika yang sekarang sudah tidak berlaku, bersama para pengacara dan pendukung mereka, merayakan keputusan pengadilan tinggi Jepang di luar Mahkamah Agung Jepang di Tokyo, 3 Juli 2024. (Yuichi YAMAZAKI / AFP)

Pengadilan tertinggi Jepang, Rabu (3/7) memutuskan bahwa UU eugenika yang sudah tidak berlaku lagi, di mana ribuan orang disteril paksa antara 1948 dan 1996 adalah inkonstitusional.

Eugenika mengacu pada pengkajian tentang kemungkinan memperbaiki kualitas manusia dengan cara mengubah susunan genetikanya.

Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa UU pembatasan 20 tahun tidak dapat diterapkan, memuluskan jalan bagi pemberian kompensasi untuk para korban setelah pertikaian hukum selama bertahun-tahun.

“Negara menghindari tanggung jawab atas pembayaran ganti rugi adalah sikap yang sangat tidak adil dan tidak dapat ditoleransi sama sekali,” kata MA di Tokyo.

Pemerintah Jepang mengakui bahwa sekitar 16.500 orang disteril paksa berdasarkan UU yang dimaksudkan untuk “mencegah generasi keturunan-keturunan mendatang berkualitas buruk.”

Sekitar 8.500 orang lainnya disterilkan atas persetujuan mereka, meskipun para pengacara mengatakan bahwa kasus itu pun kemungkinan besar “secara de facto juga dipaksa” karena tekanan yang dihadapi orang-orang itu.

Pemberitahuan pemerintah pada tahun 1053 mengatakan bahwa kendala fisik, anestesi dan bahkan “penipuan” dapat digunakan untuk melancarkan operasi tersebut.

“Ada orang-orang yang tidak dapat hadir di sini sekarang. Ada juga orang-orang yang meninggal. Saya ingin mengunjungi makam orang tua saya dan mengatakan kepada mereka bahwa kita menang,” kata Saburo Kita, korban yang menggunakan nama samaran, kepada wartawan, setelah putusan MA diumumkan.

Kita diyakinkan untuk menjalani vasektomi sewaktu ia berusia 14 di sebuah fasilitas yang menampung anak-anak bermasalah. Ia baru memberitahu istrinya mengenai kejadian itu tidak lama sebelum istrinya meninggal pada tahun 2013.

“Tetapi penyelesaian masalah ini secara tuntas belum terwujud. Bersama-sama dengan para pengacara, saya akan terus berjuang,” kata Kita, satu dari beberapa korban yang merayakan putusan MA itu di luar gedung pengadilan, beberapa dari mereka berkursi roda.

Jumlah operasi semacam itu di Jepang melamban pada tahun 1980-an dan 1990-an sebelum akhirnya UU itu dihapus pada tahun 1996.

Sejarah kelam itu kembali menjadi sorotan pada tahun 2018 ketika seorang perempuan berusia 60-an menggugat pemerintah terkait prosedur yang ia alami pada usia 15, membuka jalan bagi tuntutan serupa lainnya.

Pemerintah “dengan sepenuh hati” meminta maaf setelah disahkannya legislasi pada tahun 2019 yang menetapkan pembayaran sekaligus sekitar 3,2 juta yen (lebih dari Rp323 juta) per korban.

Namun para penyintas mengatakan jumlah itu terlalu kecil dibandingkan dengan penderitaan mereka dan membawa kasus mereka itu ke pengadilan. [uh/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG