Pemerintah Indonesia sedang semringah. Pabrik sel baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dari patungan perusahaan Korea Selatan Hyundai dan LG akhirnya diresmikan pada Rabu, 3 Juli lalu. Pabrik yang disebut sebagai yang pertama dan terbesar di Asia Tenggara, kata Presiden Joko Widodo, adalah babak baru bagi Indonesia untuk menjadi pemain global di ekosistem sel baterai dan kendaraan listrik.
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia berambisi mendorong nilai tambah nikel dari hulu ke hilir dalam ekosistem kendaraan listrik terintegrasi.
Namun, para pakar berpendapat ambisi Indonesia itu tampaknya akan sulit terwujud karena sederet tantangan. Antara lain, pasar baterai global yang sudah kelebihan kapasitas produksi, berkembangnya produk baterai non-nikel dan persaingan ketat dari produsen yang sudah mapan –terutama di China yang merupakan produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia.
Dari dalam negeri, para analis menyoroti kebijakan kendaraan listrik, seperti pembebasan bea masuk impor yang memicu banjir impor kendaraan listrik – terutama dari China – dan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang berpotensi menghambat pengembangan kapasitas domestik.
Kondisi tersebut memunculkan keraguan terhadap visi Indonesia untuk memonetisasi nikel dengan mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir.
Putra Adiguna, Managing Director lembaga kajian (think tank), Energy Shift Institute mengatakan pabrik baterai yang baru saja diresmikan perlu diapresiasi. Namun, dari sisi kapasitas produksi baterai saja, saat ini Indonesia sudah jauh tertinggal dari kapasitas produksi baterai global.
Sebagai informasi, BloombergNEF memproyeksikan kapasitas pabrik baterai kendaraan listrik global mencapai 2.600 GwH pada 2023.
"Produksi awal sebesar 10 gigawatts hour (GwH) hanya menyumbang 0,4 persen saja dari kapasitas dunia, tidak berimbang dengan produksi nikel Indonesia yang setengah suplai dunia," Putra kepada VOA baru-baru ini.
Di sisi lain, adopsi kendaraan listrik di Tanah Air masih sangat rendah. Padahal produsen pabrik baterai cenderung menempatkan investasi pabrik sesuai perkembangan pasar kendaraan listrik.
“Tolok ukur pertama menuju ekosistem kendaraan listrik adalah pabrik baterai. Indonesia tidak akan pernah menjadi 'raja baterai EV dunia' dengan trajectory saat ini. Kalaupun Indonesia dapat membangun pabrikan baterai dan EV, volumenya diperkirakan akan menyesuaikan dengan penyerapan EV di pasar domestik. Industri mobil Indonesia mencakup sekitar 1 persen dari pasar global,” papar Putra.
Produksi Bahan Baku Baterai Nikel Minim
Proses membuat baterai EV sendiri cukup panjang. Dimulai dengan mengolah bijih nikel menjadi bahan setengah jadi, yaitu Mixed Nickel-Cobalt Hydroxide Precipitate (MHP). Lalu, MHP diekstraksi menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat yang selanjutnya diproses lagi menjadi bahan prekursor baterai. Prekursor kemudian diolah menjadi katoda yang merupakan komponen penting sel baterai kendaraan listrik.
Katoda, yang mencakup sekitar lebih dari 1/3 isi satu baterai kendaraan listrik, menentukan kapasitas penyimpanan daya dan kemampuan jarak tempuh sebelum mobil harus mengisi daya kembali. Selain itu, katoda juga menentukan berapa kali baterai dapat diisi ulang daya.
Saat ini, sebagian besar dari sekitar 53 smelter di Indonesia baru bisa mengolah nikel menjadi nickel pig-iron (NPI), bahan setengah jadi untuk produksi baja tahan karat (stainless steel). Meski produksi bijih nikel Indonesia meningkat tiga kali lipat sejak 2015, tiga perempat ekspor nikel Indonesia masih berkaitan dengan industri baja tahan karat dibanding untuk kendaraan listrik.
Jumlah produsen nikel sulfat pun bisa dihitung dengan jari. Apalagi, Indonesia juga belum mempunyai fasilitas pembuatan katoda.Bisnis Indonesia pada Desember lalu melaporkan PT Industri Baterai Indonesia
tengah bernegosiasi dengan LG untuk membangun pabrik katoda di Batang, Jawa Tengah. Namun, masih belum jelas kelanjutan negosiasi itu.
Sejauh ini, belum ada informasi dari mana pabrik sel baterai baru di Karawang, Jawa Barat, yang dioperasikan oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power, akan mendapatkan pasokan katoda. Pernyataan dari kantor Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal dan dari Sekretariat Kabinet mengenai peresmian pabrik HLI tidak menyebut sumber pasokan katoda.
Profesor Evvy Kartini, salah satu pendiri National Battery Research Institute (NBRI), berpendapat Indonesia seharusnya memfokuskan hilirasi nikel untuk membuat katoda.
“Kalau menurut saya, program hilirisasinya harus diteruskan karena belum kelar. Ini baru tahap pertama kok. Masih panjang. Jadi yang kita ekspor bukan MHP. Kita bisa menjadi raja baterai itu kalau bisa mengekspor katoda. Ini katoda belum diproduksi,” kata Evvy kepada VOA melalui telepon.
Sebelumnya, pada akhir Januari lalu Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengakui smelter nikel dalam negeri saat ini memang baru memproduksi barang setengah jadi atau Nickel Pig Iron (NPI), tapi ke depan akan mulai memproduksi sel baterai.
Menurut Bahlil, Indonesia telah menarik komitmen investasi senilai $42 miliar untuk pembuatan baterai EV dari pemain global, seperti CATL, Foxconn Technology Group, Ford Motor Company, BASF, dan LG Solution.
Namun, baru-baru ini, perusahaan Prancis, Eramet dan BASF mengumumkan keduanya membatalkan rencana investasi bersama pembangunan kompleks pemurnian nickel dan kobalt di Teluk Weda.
“Eramet akan terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia dan akan terus memberikan informasi kepada pasar pada waktunya,” kata perusahaan itu dalam pernyataannya pada 24 Juni lalu.
Kelebihan kapasitas
Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah pasar global sudah kelebihan kapasitas pembuatan baterai.
Menurut data dari lembaga kajian CRU Group, kapasitas produksi baterai lithium-ion global sudah mencapai 1 terrawatt hour (TWh) pada 2023, melebihi permintaan riil sebesar 65 GwH. China menyumbang 76 persen dari produksi baterai global.
Putra Adiguna, managing director Energy Shift Institute, menambahkan pengembangan industri baterai EV di Indonesia muncul di tengah persaingan global yang sudah berjalan mapan. Akibatnya, muncul kekhawatiran mengenai potensi pasar baterai kendaraan listrik berbasis nikel yang akan diproduksi oleh Indonesia.
Persaingan dengan China
Jom Madan, peneliti Energy Transition Research dari perusahaan konsultan global Wood MacKenzie menambahkan Indonesia mungkin akan kesulitan bersaing dengan produsen yang sudah mapan di China untuk membangun pabrik baterai skala besar atau giga factory karena sejumlah tantangan teknis.
“Dengan asumsi tantangan teknis tersebut dapat diatasi, persaingan akan semakin ketat karena pabrikan China telah mencapai integrasi skala dan rantai pasokan, yang telah terjalin selama beberapa dekade,” kata Madan yang menjawab pertanyaan VOA melalui email.
“Mendapatkan pasokan bahan berkualitas tinggi bukanlah solusi untuk hal ini,” imbuhnya.
Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan, kapasitas produksi baterai lithium-ion China akan meningkat menjadi 2,93 terrawatt hour (Twh) pada 2025 dan 4,65 Twh pada 2030, dari 1,2 Twh pada 2022.
Karut-Marut Kebijakan Kendaraan Listrik
Para pengamat juga menyoroti sejumlah kebijakan kendaraan listrik yang dipandang justru bisa menghambat perkembangan industri domestik.
Misalnya, pembebasan pajak barang mewah (PpnBM) untuk kendaraan listrik jenis completely built-up (CBU) dan completely knock-down (CKD), yang seharusnya 15 persen, mulai Januari hingga Desember 2024. Selain itu, pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pembelian kendaraan listrik dipangkas, dari 11 persen menjadi 1 persen.
Banyaknya insentif memang telah menarik produsen kendaraan listrik terkemuka, termasuk Beyond Your Dream (BYD), CATL, Wuling dan Neta, untuk menjual produk mereka di Indonesia. Namun, Profesor Evvy mengatakan insentif tersebut bertentangan dengan upaya Indonesia untuk mengembangkan kapasitas produksi kendaraan listrik.
Dia membandingkan dengan Vietnam yang meski tidak punya nikel, tetapi sudah mampu membuat kendaraan listrik nasionalnya sendiri, yang diproduksi oleh Vinfast.
“Saya di Vietnam delapan hari yang berseliweran mobil-mobil Vinfast. Kalau di sini (di Indonesia-red) yang ada Wuling, Hyundai. Yang produksi mobil kita mana? Indonesia ini jadi perang tanding mobil EV luar negeri,” kata Evvy.
Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Indonesia memproduksi 15.813 unit Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) sepanjang 2023, sedangkan pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik mencapai 600.000 pada 2030. Artinya, dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus memproduksi rata-rata 120.000 unit kendaraan listrik dalam setahun.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Investasi dan Maritim, Rachmat Kaimuddin, dalam diskusi dengan Jakarta Foreign Correspondence Club (JFCC) beberapa waktu lalu menjelaskan insentif tidak diberikan begitu saja.
Bila para pelaku bisnis ingin mendapatkan penghapusan PPnBM hingga 2025, kata Rachmat, mereka juga harus berkomitmen memproduksi kendaraan listrik dalam jumlah yang sama dengan kendaraan yang diimpor.
Selain itu, mereka juga harus memenuhi persyaratan TKDN, yaitu minimum 40 persen pada 2026, naik menjadi 60 persen pada 2027 hingga 2029 dan minimum 80 persen pada 2030.
Namun, Jom Madan mengatakan persyaratan TKDN itu mungkin sulit dipenuhi di masa depan karena sejumlah tantangan dalam produksi baterai tadi.
“Ketika pemerintah (Indonesia) sedang mencoba untuk meningkatkan produksi baterai kendaraan listrik lokal, industri ini mungkin akan kesulitan bersaing dengan produsen baterai kendaraan listrik yang sudah mapan di China,” ujar Madan.
Persaingan Alternatif Baterai Tanpa Nikel
Industri baterai berbasis nikel Indonesia juga akan menghadapi meningkatnya persaingan dari baterai-baterai yang tidak menggunakan nikel. Salah satunya yang sedang naik daun adalah baterai Lithium Ferro Phosphate (LFP), yang mengandung litium, besi, dan fosfat.
Menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) dalam Global EV Outlook 2024 yang dirilis 4 April, penggunaan baterai EV dengan kandungan nikel tinggi dalam produksi baterai global turun menjadi 54 persen pada 2023, dari 61 persen pada 2022. Sebaliknya, porsi baterai LFP meningkat menjadi 40 persen pada 2023, dari 28 persen pada 2021.
Secara performa, baterai berbasis nikel seperti NMC dan NCA (nickel, cobalt, aluminum), bisa menyimpan lebih banyak energi dalam ukuran yang lebih kecil dibanding LFP. Namun, bahan baku LFP, yaitu besi dan fosfat, tersedia dalam jumlah besar dan mudah didapat dibandingkan nikel. Dengan demikian, kendaraan listrik bertenaga baterai LFP bisa lebih murah daripada kendaraan listrik dengan baterai nikel.
Menurut IEA dalam laporan yang sama, harga baterai NMC berkisar hampir 25 persen lebih mahal daripada LFP. Ketersediaan bahan baku juga yang menjadi salah satu faktor mendorong meningkatnya penggunaan LFP.
Sementara itu, kendaraan listrik impor yang masuk ke Indonesia kebanyakan menggunakan baterai LFP terutama dari China, yang memiliki hampir 100 persen kapasitas produksi LFP di dunia. BYD adalah salah satu konsumen baterai LFP terbesar. Menurut IEA, BYD menyumbang 50 persen permintaan baterai LFP untuk kendaraan listrik ringan, seperti mobil penumpang.
Evvy mengatakan produsen China, seperti BYD dan Wuling, mungkin akan tetap menggunakan baterai LFP jika memang berencana memproduksi kendaraan listriknya di Indonesia. Sebabnya, penggunaan baterai nikel mengharuskan mereka mengubah desain kendaraan.
“Mereka seharusnya buat baterai di sini, materialnya dari sini. Seharusnya pemerintah mewaspadai juga nikelnya mau dikemanakan,” ujarnya sambil menambahkan bahwa impor kendaraan listrik seharusnya dibatasi.
Mimpi Raksasa EV Makin Jauh?
Putra mengatakan bila hilirisasi nikel tetap seperti saat ini, Indonesia hanya akan menjadi eksportir bahan baterai setengah jadi. Dia memperkirakan pada 2027, Indonesia kemungkinan hanya akan menambah kapasitas produksi baterai sebesar 25 hingga 45GWh, dari rencana kapasitas 10 GWh yang akan beroperasi tahun ini.
Dia juga memproyeksikan antara 70 persen hingga 80 persen kendaraan listrik di Indonesia kemungkinan tidak akan menggunakan baterai nikel, sehingga tidak banyak ketersambungan antara ekspansi industri smelter nikel dengan kendaraan listrik.
"Kalau Indonesia harus berkompetisi ketat dengan Vietnam dan Thailand -yang notabene tidak memiliki nikel- melalui berbagai insentif untuk mengundang pabrikan EV, masyarakat tentu patut bertanya lantas di mana daya tawar nikel yang dijanjikan?” kata Putra.
Padahal, imbuhnya, Indonesia telah memberikan begitu banyak insentif dan kelonggaran serta menyaksikan deforestasi yang semakin meningkat dengan kisah menjadi raja kendaraan listrik.
"Dengan semua alasan tersebut, kemungkinan besar Indonesia utamanya hanya akan menjadi eksportir bahan baterai EV setengah jadi," kata Putra.
Profesor Evvy menyarankan impor kendaraan listrik seharusnya sudah mulai dikurangi sembari mempersiapkan industri baterai.
“Saya berharap pemerintah yang baru tetap menyelesaikan hilirisasi, aturan ditegakan, kalau mereka mau jualan motor-mobil, semua ada di Indonesia. Itu membangun Indonesia,” ujarnya. [ft/dw/rs/ge]
Forum