Menyusul kekacauan politik di Pakistan, Mahkamah Agung negara itu bersidang Senin (4/4) untuk mendengarkan argumen dan kemudian memutuskan apakah Perdana Menteri Imran Khan dan sekutu-sekutunya memiliki hak hukum untuk membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilihan dini.
Pihak oposisi mempersoalkan langkah terbaru Khan itu sebagai taktik untuk tetap menjabat sebagai perdana menteri. Mereka juga menuduh mantan pemain kriket yang berubah menjadi pemimpin Islam konservatif itu keliru mengelola ekonomi.
Pada hari Minggu, sekutu Khan dan wakil ketua parlemen Pakistan, Qasim Suri, membubarkan parlemen untuk menghindari mosi tidak percaya yang tampaknya akan mendongkel posisi Khan. Oposisi mengklaim wakil ketua itu tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk membatalkan mosi tidak percaya.
Pembubaran parlemen menandai perkembangan terbaru dalam perselisihan yang meningkat antara Khan dan oposisi, yang kini didukung oleh para pembelot dari partai perdana menteri sendiri, Tehreek-e-Insaf atau Partai Keadilan, dan mantan mitra koalisi, Gerakan Muttahida Quami, yang telah bergabung dengan barisan oposisi. Oposisi mengklaim memiliki jumlah yang memadai untuk menggulingkan Khan di parlemen.
Menurut pengacara konstitusi bernama Ali Zafar, keputusan paling signifikan yang akan diambil Mahkamah Agung adalah apakah Suri, wakil ketua parlemen, memiliki kewenangan konstitusional untuk membatalkan mosi tidak percaya. Ia juga mengatakan, mahkamah juga harus memutuskan apakah lembaga itu memiliki wewenang untuk memutuskan masalah ini. Partai Khan menegaskan tindakan seorang ketua parlemen adalah hak istimewa dan tidak dapat dipersoalkan di pengadilan.
Jika pengadilan memutuskan wakil ketua itu keluar jalur, parlemen akan bersidang kembali dan mengadakan mosi tidak percaya terhadap Khan, kata pakar hukum itu. Jika pengadilan mendukung pembubaran parlemen, Pakistan akan melangsungkan pemilihan dini. (ab/uh)