JAKARTA —
Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman di Jakarta Rabu (6/3) mengaku adanya pelanggaran oleh anggotanya yang terekam dalam video kekerasan terhadap terduga teroris. Di dalam video yang telah diunggah ke Youtube itu menurut Sutarman bukan dari satu peristiwa, tapi merupakan gabungan beberapa peristiwa dengan lokasi terpisah, seperti di Poso Sulawesi Tengah, peristiwa pada 2007, dan kasus lainnya.
"Video itu tidak pure satu kejadian atau dalam tempo yang sama, tapi itu disambung (dari) kejadian-kejadian lainnya. Untuk tayangan video penangkapan teroris atas nama Wiwin, tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan anggota polisi. Tapi kalo tayangan video penangkapan selain Wiwin, ada anggota polisi yang melanggar hukum. Terhadap anggota yang diproses hukum kode etik ada 16 orang. Setelah itu mungkin akan ada proses pidana," jelas Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman.
Dari hasil penyelidikkan terkait video penangkapan anggota teroris yang tersebar di kalangan masyarakat, menurut Sutarman peristiwa tersebut terjadi di Poso, namun waktu kejadiannya berbeda. Di awal video itu, yang ditayangkan adalah saat proses penangkapan terduga teroris tahun 2012, terkait kasus penembakkan atas empat orang anggota Brimob. Lalu disambung dengan kejadian penangkapan teroris atas nama Wiwin tahun 2007. Wiwin ditangkap terkait kasus mutilasi tiga siswi di Poso tahun 2005. Wiwin sendiri telah dijatuhi hukuman 17 tahun penjara.
Terkait wacana yang mendesak dibubarkannya Densus 88 yang diajukan oleh sejumlah ormas Islam ini, Sutarman mensinyalir adanya upaya untuk melemahkan Densus 88, agar tidak melakukan penegakkan hukum terhadap pelaku aksi terorisme.
"Ini yang harus diwaspadai. Operasi penegakkan hukum terhadap aksi teroris saat ini difokuskan pada tindakan pencegahan sebelum mereka melakukan pengeboman atau aksi bersenjata. Kalau Densus kita tidak bergerak, mungkin akan terjadi pengeboman di beberapa tempat. (Dalam) Rangkaian kejadian di Poso beberapa waktu lalu, kita menemukan ada 23 bom yang siap diledakkan," kata Sutarman. "Kami menyadari, siapapun anggota kita yang salah akan kita tindak. Namun jangan pernah berpikir untuk membubarkan Densus. Kalau ini terus bergulir, maka ini adalah kemenangan teroris," lanjutnya.
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai memastikan para terduga teroris yang ditangkap aparat Densus 88 selalu diperlakukan baik. Cara-cara penanggulangan terorisme di Indonesia menurut Ansyaad, masih menjunjung tinggi supremasi hukum.
"Sampai hari ini sudah sekitar 840 tersangka teroris yang ditangkap. Dari 840 tersangka teroris itu, ada sekitar 60 orang teroris itu yang dikerasi atau ditembak. Dan itu tidak sampai 10%. Artinya mayoritas di perlakukan baik-baik. Tetapi ada memang situasi tertentu tidak bisa dihindari interaksi yang keras," jelas Ansyaad Mbai .
Wacana pembubaran Densus 88 menurut Ansyaad adalah bernuansa politis. Tuntutan ini menurut Ansyaad menjadi sesuatu hal yang sangat menguntungkan kelompok teroris. "Kenapa kok ga berteriak supaya organisasi teroris, supaya kelompok radikal itu berhenti mengkampanyekan ideologi radikal. Itu semua lagu lama. Yang membuat pernyataan itu bermain mengikuti irama gendangnya teroris. Justru itu yang menjadi tuntutan teroris," lanjut Ansyaad.
Ansyaad meminta para tokoh yang menuntut pembubaran Densus bersikap obyektif dengan mempercayakan proses hukum para teroris di pengadilan.
Sebelumnya, sejumlah ormas Islam menuntut dibubarkannya Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror. Tuntutan itu muncul setelah adanya video kekerasan terhadap seseorang terduga teroris menyebar luas di dunia maya. Rekaman penganiayaan oleh personel polisi yang diduga berasal dari Densus 88 dan kesatuan Brimob itu, diunggah ke YouTube pada Jumat lalu (1/3).
"Video itu tidak pure satu kejadian atau dalam tempo yang sama, tapi itu disambung (dari) kejadian-kejadian lainnya. Untuk tayangan video penangkapan teroris atas nama Wiwin, tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan anggota polisi. Tapi kalo tayangan video penangkapan selain Wiwin, ada anggota polisi yang melanggar hukum. Terhadap anggota yang diproses hukum kode etik ada 16 orang. Setelah itu mungkin akan ada proses pidana," jelas Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman.
Dari hasil penyelidikkan terkait video penangkapan anggota teroris yang tersebar di kalangan masyarakat, menurut Sutarman peristiwa tersebut terjadi di Poso, namun waktu kejadiannya berbeda. Di awal video itu, yang ditayangkan adalah saat proses penangkapan terduga teroris tahun 2012, terkait kasus penembakkan atas empat orang anggota Brimob. Lalu disambung dengan kejadian penangkapan teroris atas nama Wiwin tahun 2007. Wiwin ditangkap terkait kasus mutilasi tiga siswi di Poso tahun 2005. Wiwin sendiri telah dijatuhi hukuman 17 tahun penjara.
Terkait wacana yang mendesak dibubarkannya Densus 88 yang diajukan oleh sejumlah ormas Islam ini, Sutarman mensinyalir adanya upaya untuk melemahkan Densus 88, agar tidak melakukan penegakkan hukum terhadap pelaku aksi terorisme.
"Ini yang harus diwaspadai. Operasi penegakkan hukum terhadap aksi teroris saat ini difokuskan pada tindakan pencegahan sebelum mereka melakukan pengeboman atau aksi bersenjata. Kalau Densus kita tidak bergerak, mungkin akan terjadi pengeboman di beberapa tempat. (Dalam) Rangkaian kejadian di Poso beberapa waktu lalu, kita menemukan ada 23 bom yang siap diledakkan," kata Sutarman. "Kami menyadari, siapapun anggota kita yang salah akan kita tindak. Namun jangan pernah berpikir untuk membubarkan Densus. Kalau ini terus bergulir, maka ini adalah kemenangan teroris," lanjutnya.
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai memastikan para terduga teroris yang ditangkap aparat Densus 88 selalu diperlakukan baik. Cara-cara penanggulangan terorisme di Indonesia menurut Ansyaad, masih menjunjung tinggi supremasi hukum.
"Sampai hari ini sudah sekitar 840 tersangka teroris yang ditangkap. Dari 840 tersangka teroris itu, ada sekitar 60 orang teroris itu yang dikerasi atau ditembak. Dan itu tidak sampai 10%. Artinya mayoritas di perlakukan baik-baik. Tetapi ada memang situasi tertentu tidak bisa dihindari interaksi yang keras," jelas Ansyaad Mbai .
Wacana pembubaran Densus 88 menurut Ansyaad adalah bernuansa politis. Tuntutan ini menurut Ansyaad menjadi sesuatu hal yang sangat menguntungkan kelompok teroris. "Kenapa kok ga berteriak supaya organisasi teroris, supaya kelompok radikal itu berhenti mengkampanyekan ideologi radikal. Itu semua lagu lama. Yang membuat pernyataan itu bermain mengikuti irama gendangnya teroris. Justru itu yang menjadi tuntutan teroris," lanjut Ansyaad.
Ansyaad meminta para tokoh yang menuntut pembubaran Densus bersikap obyektif dengan mempercayakan proses hukum para teroris di pengadilan.
Sebelumnya, sejumlah ormas Islam menuntut dibubarkannya Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror. Tuntutan itu muncul setelah adanya video kekerasan terhadap seseorang terduga teroris menyebar luas di dunia maya. Rekaman penganiayaan oleh personel polisi yang diduga berasal dari Densus 88 dan kesatuan Brimob itu, diunggah ke YouTube pada Jumat lalu (1/3).