Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan kontroversi pembatasan kegiatan masyarakat pada masa pandemi seperti di Indonesia juga terjadi di berbagai negara. Hasil studi Kementerian Luar Negeri menyebut penolakan terhadap pembatasan kegiatan di negara berkembang terjadi karena dinilai mengganggu perekonomian. Sedangkan di negara maju mendapat penolakan karena dinilai menghilangkan kebebasan masyarakat.
Terkait hal tersebut, ia menegaskan pemerintah memahami keresahan masyarakat dalam menghadapi pandemi yang tidak menentu. Keresahan tersebut terutama takut mati karena COVID-19 dan takut mati karena kegiatan ekonominya tidak berjalan. Namun Mahfud meyakinkan pemerintah terus mengikuti perkembangan di masyarakat terkait hal tersebut.
"Ketakutan itu harus dihadapi dengan kerja sama di antara elemen-elemen bangsa. Tokoh-tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh kampus, akademisi, tokoh adat," jelas Mahfud dalam konferensi pers daring, Sabtu (24/7/2021).
Untuk membahas masalah-masalah terkait virus corona, Mahfud menggelar rapat dengan sembilan kementerian dan lembaga membahas situasi sosial, politik dan ekonomi terkait penanganan virus corona pada Sabtu (24/7/2021). Turut hadir pada kesempatan tersebut antara lain Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Mahfud mengklaim pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat dalam mengambil keputusan dalam penanganan pandemi corona, termasuk soal vaksinasi COVID-19 yang juga menjadi pro-kontra di masyarakat.
"Pemerintah mengetahui bahwa sekelompok orang memiliki keinginan untuk memanfaatkan situasi, tadi ada kelompok yang murni dan ada kelompok yang tidak murni yang masalahnya hanya ingin menentang pemerintah saja," tambah Mahfud.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai pemerintah terlambat dalam merespons pandemi corona pada awal pandemi. Kata dia, hal tersebut diperparah dengan aturan yang digunakan pemerintah dalam menangani pandemi. Ia beralasan aturan yang sebagian besar dipakai adalah berbentuk surat edaran yang tidak memiliki kekuatan hukum dalam sistem perundang-undangan.
"Saya lupa karena ada puluhan surat edaran, itu tidak ada gunanya. karena secara hukum tidak bisa mengatur. Kalau perintah surat edaran tidak dikerjakan, tidak ada konsekuensi hukumnya," ujar Agus Pambagio kepada VOA, Sabtu (24/7/2021).
Agus menambahkan pemerintah semestinya membuat peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang memiliki kekuatan hukum seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ia juga mengkritisi penegakan sanksi yang lemah bagi orang yang melanggar aturan dalam penanganan pandemi. Akibatnya hal itu berpotensi membuat orang tidak disiplin sehingga dapat mengganggu penanganan pandemi. [sm/ah]