Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih (Satgas BLBI) telah memanggil semua obligor dan debitur BLBI. Pemanggilan tersebut untuk menyelesaikan tunggakan utang kepada negara terkait BLBI. Kata dia, total ada 48 obligor dan debitur yang telah dipanggil dengan total kewajiban utang kepada negara sebesar Rp 111 triliun. Karena itu, Mahfud yang juga Ketua Pengarah Satgas BLBI membantah hanya memanggil Tommy Soeharto terkait BLBI.
"Jadi jangan salah bahwa ini hanya Tommy Soeharto. Semua dipanggil, tapi yang jadi berita di media massa hanya panggilan kepada Tommy Soeharto," tutur Mahfud MD secara daring pada Rabu (25/8/2021).
Mahfud menambahkan perhitungan terakhir utang Tommy Soeharto sebesar Rp 2,6 triliun. Menurutnya, masih terdapat obligor dan debitur yang jumlahnya melebihi kewajiban Tommy.
Ia menyebut telah berkoordinasi dengan penegak hukum seperti Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung terkait tunggakan utang BLBI. Menurutnya, obligor dan debitur bisa dikenakan pasal pidana jika mangkir dari panggilan.
"Semua harus membayar kepada negara karena ini uang rakyat. Rakyat sekarang sedang susah, mereka tidak dapat apa-apa, lalu hutangnya kepada mereka yang diatasnamakan negara tidak dibayar. Itu tidak boleh," tambahnya.
Mahfud mengimbau para obligor dan debitur BLBI agar kooperatif karena pemerintah akan mengambil tindakan tegas terkait persoalan ini. Kata Mahfud, Presiden Joko Widodo memberikan batas waktu kepada Satgas BLBI hingga Desember 2021. Namun, ia berharap persoalan tunggakan utang BLBI ini dapat selesai sebelum tenggat waktu presiden.
Awal April lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Total aset BLBI yang dapat dikembalikan ke negara mencapai lebih dari seratus triliun. Aset tersebut antara lain berupa jaminan deposito, sertifikat tanah, dan sertifikat barang.
Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko saat itu menilai pendekatan perdata yang diambil pemerintah semestinya bisa membuahkan hasil. Menurutnya, tim juga dapat belajar dari lambatnya proses eksekusi aset BLBI oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) beberapa tahun lalu.
Kendati demikian, TII juga kaget dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan KPK dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada akhir Maret lalu.
KPK menghentikan kasus dugaan korupsi BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Sjamsul Nursalim. Penerbitan SP3 ini merupakan kali pertama bagi KPK sejak pemberlakuan UU KPK hasil revisi yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat.
KPK beralasan tidak ada penyelenggara negara dalam kasus ini setelah Mahkamah Agung melepaskan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dari pidana. Arsyad sebelumnya dinyatakan bersalah dalam Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus SKL BLBI kepada BDNI. Kala itu ia dinilai terbukti merugikan negara sekitar Rp4,58 triliun sebelum dilepaskan Mahkamah Agung. [sm/ab]