Menko Polhukam Mahfud MD mengklaim pemerintah tidak pernah membahas tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Menurutnya, pada September 2021, Presiden Joko Widodo telah setuju bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak dilakukan pada 2024. Mahfud menegaskan, presiden juga meminta kementerian lembaga terkait untuk memastikan pemilihan berjalan lancar dan tidak memboroskan anggaran.
"Presiden menyatakan setuju, pemungutan suara dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024 sesuai dengan usulan KPU dan DPR. Tanggal 14 Februari 2024 yang kemudian disetujui KPU, DPR, dan pemerintah pada raker di DPR pada 24 Januari 2022," jelas Mahfud secara daring, Senin (7/3).
Dengan demikian, kata Mahfud, sikap presiden soal pemilu dan pilkada sudah jelas. Kendati demikian, ia tidak menyinggung soal pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia soal penundaan pemilu.
Bahlil pada awal Januari 2022 menyebut pengusaha ingin Pemilu 2024 bisa dimundurkan untuk kepentingan pemulihan ekonomi. Mahfud juga tidak memberikan komentar terkait pernyataan tiga ketua umum partai politik pendukung pemerintahan yakni PKB, Golkar, dan PAN yang mengusulkan penundaan pemilu.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendorong Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan pernyataan sikap secara langsung terkait wacana penundaan pemilu. Ia beralasan orang yang mengusulkan wacana ini adalah ketua umum parpol pendukung pemerintah dan satu menteri. Karena itu, publik menduga wacana ini berkaitan dengan pemerintah.
"Karena ini motivasi menunda dan memperpanjang masa jabatan itu berkaitan dengan masa jabatan Presiden Jokowi. Jadi yang bisa menghentikan isu ini hingga betul-betul hilang adalah presiden," tutur Titi kepada VOA, Selasa (8/3).
Titi berpandangan wacana penundaan Pemilu 2024 memiliki dampak yang lebih besar ketimbang masa jabatan presiden tiga periode. Sebab, masa jabatan tiga periode belum tentu mendapat dukungan dari masyarakat saat pemilu. Sedangkan penundaan pemilu akan secara otomatis memperpanjang masa jabatan presiden, kendati ia tidak mendukung kedua wacana tersebut. Titi berpandangan bahwa presiden semestinya bersuara lebih keras dalam menanggapi isu ini dibandingkan saat menanggapi isu presiden tiga periode.
"Jadi karena penting dan sangat krusial isu ini, saya kira tidak cukup diingatkan, tapi juga ditegur agar para pejabat publik khususnya di sekitar presiden patuh terhadap konstitusi," tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PKB Muhaimim Iskandar, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PAN mewacanakan penundaan pemilu sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden. Mereka beralasan pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum stabil akibat pandemi.
Belasan organisasi pemerhati pemilu dan demokrasi di Indonesia menolak usulan penundaan pemilu ini. Masyarakat sipil khawatir penundaan pemilu melanggar konstitusi dan berpotensi memunculkan kepemimpinan otoritarian.
Mayoritas warga juga menolak usulan penundaan pemilu. Hal ini terlihat dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan mayoritas responden menolak wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo dengan alasan apapun. Baik itu alasan ekonomi maupun Ibu Kota Negara Baru. [sm/ah]