JAKARTA —
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut untuk memberhentikan Bupati Garut Aceng HM Fikri, terkait kasus pernikahan singkat dengan perempuan di bawah umur.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur di Jakarta, Rabu (23/1) menjelaskan, majelis hakim memutuskan menerima permohonan yang diajukan pada Desember 2012 terkait dugaan pelanggaran etika dan peraturan perundang-undangan oleh Aceng.
“Majelis Hakim mengabulkan permohonan karena dalam kasus perkawinan ini posisi termohon dalam jabatan sebagai bupati kabupaten Garut,antara posisi pribadinya dengan posisi jabatannya tidak dapat dipisahkan. Sebab dalam perkawinan, jabatan tersebut tetap melekat pada diri pribadi yang bersangkutan. Oleh karenanya, perilaku pejabat harus dijaga sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diucapkan,” ujar Ridwan.
Ia menegaskan, putusan Mahkamah Agung mengenai pelanggaran Aceng sudah final, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh Aceng terkait putusan ini. MA, tambah Ridwan, akan segera mengirimkan putusan itu kepada DPRD Kabupaten Garut dan Aceng.
Ridwan menjelaskan, DPRD Garut dipersilakan untuk menindaklanjuti putusan dengan menyelenggarakan sidang pleno dengan dihadiri tiga perempat anggota DPRD dan disetujui dua pertiga anggota yang hadir. Setelah itu, usulan pemberhentian dilanjutkan ke Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, ujarnya, dan keputusan pemberhentian harus selesai dalam waktu maksimal 30 hari.
Berdasarkan investigasi yang dilakukannya, tim panitia khusus (pansus) DPRD Garut pada 19 Desember 2012 merekomendasikan pemecatan Aceng.
Ketua pansus Asep Lesmana Ahlan menyatakan, Aceng telah melanggar undang-undang perkawinan dan sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena menikahi gadis dibawah umur secara siri atau tidak tercatat dalam lembaran negara, lalu menceraikannya empat hari kemudian.
“Saudara Aceng telah melanggar UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat dan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di muka pengadilan,”ujar Asep.
“Ia juga melanggar UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah wajib mentaati seluruh peraturan perundang-undangan dan wajib menjaga etika dan norma dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.”
Selain menjadi sorotan masyarakat, kasus ini juga mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di 2012 lalu. Presiden pada waktu itu secara khusus meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk melaporkan perkembangan kasus ini, dan segera mengambil tindakan.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur di Jakarta, Rabu (23/1) menjelaskan, majelis hakim memutuskan menerima permohonan yang diajukan pada Desember 2012 terkait dugaan pelanggaran etika dan peraturan perundang-undangan oleh Aceng.
“Majelis Hakim mengabulkan permohonan karena dalam kasus perkawinan ini posisi termohon dalam jabatan sebagai bupati kabupaten Garut,antara posisi pribadinya dengan posisi jabatannya tidak dapat dipisahkan. Sebab dalam perkawinan, jabatan tersebut tetap melekat pada diri pribadi yang bersangkutan. Oleh karenanya, perilaku pejabat harus dijaga sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diucapkan,” ujar Ridwan.
Ia menegaskan, putusan Mahkamah Agung mengenai pelanggaran Aceng sudah final, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh Aceng terkait putusan ini. MA, tambah Ridwan, akan segera mengirimkan putusan itu kepada DPRD Kabupaten Garut dan Aceng.
Ridwan menjelaskan, DPRD Garut dipersilakan untuk menindaklanjuti putusan dengan menyelenggarakan sidang pleno dengan dihadiri tiga perempat anggota DPRD dan disetujui dua pertiga anggota yang hadir. Setelah itu, usulan pemberhentian dilanjutkan ke Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, ujarnya, dan keputusan pemberhentian harus selesai dalam waktu maksimal 30 hari.
Berdasarkan investigasi yang dilakukannya, tim panitia khusus (pansus) DPRD Garut pada 19 Desember 2012 merekomendasikan pemecatan Aceng.
Ketua pansus Asep Lesmana Ahlan menyatakan, Aceng telah melanggar undang-undang perkawinan dan sumpah jabatan sebagai kepala daerah karena menikahi gadis dibawah umur secara siri atau tidak tercatat dalam lembaran negara, lalu menceraikannya empat hari kemudian.
“Saudara Aceng telah melanggar UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat dan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di muka pengadilan,”ujar Asep.
“Ia juga melanggar UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah wajib mentaati seluruh peraturan perundang-undangan dan wajib menjaga etika dan norma dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.”
Selain menjadi sorotan masyarakat, kasus ini juga mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di 2012 lalu. Presiden pada waktu itu secara khusus meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk melaporkan perkembangan kasus ini, dan segera mengambil tindakan.