Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (4/11) memvonis bebas terdakwa mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik negara (PLN) Sofyan Basir. Dia dinyatakan tidak bersalah memfasilitasi penyuapan dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Tim jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menuntut Sofyan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta. Sofyan didakwa mengetahui rencana pemberian uang kepada Partai Golongan Karya. Fulus tersebut berasal dari pengusaha Johannes Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Dalam pembacaan putusan, majelis hakim menilai Sofyan tidak terlibat proses pemberian suap kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Partai Golongan Karya Idrus Marham. Dalam berbagai pertemuan antara Sofyan dan Johannes Kotjo, Eni Saragih, Idrus Marham, dan Iwan Supangkat, saat proses pembahasan PLTU Riau-1, juga terbukti tidak terjadi kesepakatan transaksi.
Dalam sidang sebelumnya, Eni Saragih dan Johannes Kotjo juga menyebut Sofyan tidak pernah tahu proses suap yang terjadi di antara mereka.
Sofyan, yang datang ke pengadilan dengan berkemeja batik lengan panjang coklat, tampak terharu atas putusan bebas itu. Kepada wartawan yang mencegatnya seusai sidang, dia mengaku bersyukur atas putusan majelis hakim tersebut.
"Saya bersyukur Allah kasih yang terbaik buat saya, hari ini bebas. Kita bisa mulai kerja, bebas di luar, bisa berbuat yang terbaik untuk semua masyarakat," kata Sofyan.
Menanggapi vonis bebas Sofyan basir, Wakil Ketua KPK La Ode Syarif mengatakan, pihaknya akan mempelajari lebih lanjut isi vonis tersebut sebelum mengajukan banding untuk membuktikan bahwa tuduhan yang didakwakan KPK adalah benar.
Hal senada disampaikan juru bicara KPK Febri Diansyah. Dia menekankan KPK akan mengajukan kasasi terhadap vonis bebas itu.
"Yang pasti, KPK tidak akan menyerah begitu saja ketika ada vonis bebas untuk terdakwa yang diajukan KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Apapun vonisnya, berat, ringan, bebas, atau lepas, secara kelembagaan KPK tetap harus menghormati dan menghargai institusi peradilan," ujar Febri.
Peneliti pada Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko menjelaskan memang ada kelemahan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yakni tidak ada pasal tentang memperjualbelikan pengaruh. Dia menambahkan, kalau pasal itu ada dalam beleid pemberantasan korupsi, maka Sofyan Basir bisa dijerat dengan menggunakan pasal tersebut.
Dia menyarankan KPK agar segera meminta salinan putusan bebas tersebut untuk dipelajari guna mengajukan banding.
Menurut Wawan, Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi, namun hingga tahun ini, baru delapan dari 32 rekomendasi yang dilaksanakan.
"Delapan (rekomendasi) itu belum termasuk memperjualbeikan pengaruh, pengembalian aset (kerugian negara), korupsi di sektor swasta. Masih banyak dari 32 (rekomendasi) itu yang belum kita penuhi. Artinya, sebenarnya perbaikan terhadap undang-undang tipikor kita menjadi hal yang mutlak kalau memang perbaikan terhadap iklim anti-korupsi yang ada di Indonesia ini mau berjalan dengan baik," tutur Wawan.
Jika memang ada rencana merevisi undang-undang pemberantasan korupsi, Wawan menegaskan, pasal mengenai pengembalian aset atau kerugian negara harus dimasukkan. Alasannya, banyak sekali kejahatan korupsi dengan barang bukti atau kerugian negara yang belum bisa dikembalikan, termasuk aset-aset hasil korupsi di luar negeri yang juga belum bisa disita oleh negara. [fw/ka]