Ketika terbang ke Paris Jumat untuk memperingati peringatan satu abad berakhirnya Perang Dunia I, Presiden Trump mengirim cuitan yang mungkin terdengar biasa di telinga staf Gedung Putih, tetapi membuat khawatir masyarakat intelijen Amerika.
Cuitannya: “Mereka kini menemukan kartu suara di Florida dan Georgia, tetapi Pemilihan sudah lewat, Selasa (6/11) lalu, mari kita tuding Rusia dan tuntut permintaan maaf dari Presiden Putin!”
Sejam lagi sebuah cuitan baru dari Trump muncul:
“Segera sesudah Demokrat mengirim pengacara pemilihan mereka yang suka mencuri, Marc Elias ke Broward County, ajaibnya mereka menemukan suara untuk Demokrat. Jangan khawatir Florida, saya akan mengirim pengacara yang lebih ulung untuk membeberkan pemalsuan ini!”
Rangkaian cuitan ini untuk Gedung Putih mencerminkan kegusaran Trump dengan pejabat pemilihan di Florida dan Florida, serta juga kebiasaan presiden untuk memarahi lawan-lawan politiknya yang dia anggap telah memanipulasi sistem.
Namun untuk sejumlah orang dalam masyarakat intelijen Amerika, ada keprihatinan yang lain. Mereka cemas cuitan Trump ini sesuai dengan rencana Rusia untuk mengacaukan pemilihan di Amerika.
Larry Pfeiffer adalah veteran intelijen dengan pengalaman 32 tahun. Dia pernah jadi direktur senior di Gedung Putih dan kepala staf dari mantan direktur CIA Michael Hayden. Kata Hayden, “presiden secara sadar atau tidak sadar, menjalankan peran yang diinginkan Rusia.”
Selama berbulan-bulan sebelum pemilihan Selasa lalu, pejabat tinggi intelijen, seperti Direktur Intelijen Nasional Dan Coats sudah memperingatkan upaya Rusia yang terus menerus untuk melemahkan demokrasi Amerika.
Menteri Dalam Negeri Kirstjen Nielsen juga merisaukan hal itu, dia mengatakan, “Rusia menang kalau mereka berhasil menyebarkan unsur keraguan dalam benak warga Amerika, bahwa suara mereka tidak terhitung atau tidak dihitung secara benar.”
Untuk beberapa veteran intelijen Amerika, cuitan Presiden Trump itu, dan bukan dari pihak Rusia, yang memperbesar keragu-raguan. Untuk beberapa pihak, skenario ini semakin mirip dengan pola Trump di masa lalu. Mereka merujuk pada kesediaan Trump untuk menerima bantahan Presiden Rusia Vladimir Putin sehubungan ikut campur negaranya dalam pemilihan presiden pada 2016 ketika mereka bertemu pada KTT di Helsinki pada Juli. Padahal, temuan badan intelijen Amerika bertentangan dengan hal itu.
Media sosial Rusia sudah mulai menanggapi masalah pemilihan di Florida dan Georgia sebelum Presiden Trump mulai mengirim cuitan.
Hamilton 68 adalah sebuah dashboard online yang dioperasikan kelompok peneliti German Marshall Fund yang memantau 600 akun Twitter yang punya hubungan dengan Moskow. Pada Jumat siang mereka memperoleh temuan, akun media Rusia sudah menyebut “Florida” 679 kali dalam 48 jam terakhir, sehingga menjadikannya topik yang paling sering disebut.
Troll dan bot terkait Rusia juga sibuk mengirim tweet atau retweet tagar “stopthesteal,” “broward” dan “Florida.”
Sebagai perbandingan, tiga jam setelah diunggah, cuitan Presiden Trump sudah di-retweet 23 ribu kali dan mendapat “like” dari hampir 76 ribu akun.
Tetapi sebelum itu, Pfeiffer sudah menyebut perilaku Trump itu sebagai memalukan.
“Saya sudah bekerja untuk pemerintah cukup lama dan tahu bahwa unsur-unsur pemerintah bisa melakukan apa saja untuk menanggapi sebuah ancaman atau mengambil tindakan, tetapi karena tidak ada pengarahan yang tegas dari Gedung Putih, maka tanggapannya tidak akan kuat,” katanya.
Mantan pejabat lainnya lebih keras kecamannnya.
“Trump itu sebuah berkah yang terus membantu Putin,” kata mantan Letnan Kolonel Angkatan Udara Hal Bidlack.
Bidlack yang berdinas di Dewan Keamanan Nasional pada akhir 90an, menambahkan, “Rusia paham bahwa mereka bisa memanipulasi Trump dengan puji-pujian dan rasa tidak aman pada dirinya.” [jm]