Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi hari Kamis itu adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada tahun 2004, Syafruddin menerbitkan SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) untuk Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham mayoritas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Selain menghadirkan mantan Wapres Boediono sebagai saksi, sidang pengadilan itu juga menghadirkan Todung Mulya Lubis, yang kini menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Norwegia.
Boediono dan Todung pernah diperiksa sebagai saksi ketika perkara Syafruddin masih dalam tingkat penyidikan. Boediono diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan menteri keuangan, sementara Todung sebagai bagian dari tim hukum BPPN dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Dalam kesaksiannya, Boediono mengakui mengakui adanya usul untuk menghapus utang Bank Dagang Nasional Indonesia sebesar Rp 2,8 triliun. Usul itu digagas oleh Syafruddin Arsyad Temenggung dalam rapat kabinet terbatas di Istana Negara pada 11 Februari 2004. Namun, lanjut Boediono, rapat itu tidak mengambil keputusan apapun pada saat itu.
"Akhir dari sidang kabinet itu tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Kemudian kita selesai pada waktu itu," ungkap Boediono.
Menurut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, pada kenyataannya Syafruddin tetap melakukan penghapusan utang. Syafruddin dan KKSK mengklaim bahwa tindakannya itu atas persetujuan rapat di Istana Negara.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan SKL BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Jaksa menambahkan perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Syafruddin selaku Kepala BPPN ketika itu, lanjut jaksa, diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Selain itu, Syafruddin kemudian juga menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Padahal menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan misrepresentasi dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak yang akan diserahkan kepada BPPN.
"Dalam konteks yang ini, kita tidak menghapustagihkan. Hapus bukunya kepada petambak tapi hapus tagihnya tetap kepada inti (penjamin utang)," ujar Syafruddin.
Saat Syafruddin mengeluarkan SKL BLBI kepada Sjamsul, Boediono ikut masuk sebagai anggota KKSK. Tugas lembaga yang dipimpin Dorodjatun Kuntjoro-Jakti itu salah satunya adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana induk penyehatan perbankan yang disusun BPPN.
Kerja KKSK itu pun diperkuat dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2002, yang dikeluarkan Megawati Soekarnoputri. KKSK ikut menyetujui pemberian SKL kepada Sjamsul lewat surat Keputusan KKSK Nomor 01/K.KKSK/03/2004 tertanggal 17 Maret 2004.
Boediono menjadi anggota KKSK ketika itu bersama Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno, serta Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun karena menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim. Ia didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun, Sjamsul dan Itjih Nursalim – istri Sjamsul.
Syafruddin diduga telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI. [fw/em]