Puluhan anak muda berkumpul di pusat Kota Yogyakarta pada Rabu, 8 Mei 2019 petang. Mereka berorasi, membaca puisi, menyalakan lilin dan menggelar aksi teatrikal. Anak-anak muda itu mengenang seorang buruh perempuan yang 26 tahun lalu ditemukan meninggal dalam kondisi mengenaskan. Marsinah, nama buruh itu, yang wajahnya kini terpampang di kaos anak milenial, sebagai salah satu ikon perlawanan.
Peringatan 26 tahun kasus Marsinah ini diadakan oleh Komite International Women Day (IWD) Yogyakarta. Perjuangan Marsinah, menurut mereka harus terus diingat. Apalagi hingga saat ini kasus kematiannya tidak terungkap jelas. Nadine Kusuma dari IWD Yogyakarta kepada VOA mengatakan, dalam konteks Indonesia, perjuangan Marsinah adalah juga perjuangan kaum perempuan.
“Dia adalah representasi perempuan. Komite IWD melihat bahwa perjuangan itu bukan sebatas jenis kelamin, antara laki-laki atau perempuan. Ini juga perjuangan kelas pekerja, yang harus diperjuangkan hak-haknya, dan itu direpresentasikan oleh semangat marsinah. Maka kamipun menuntut diusutnya kasus Marsinah ini. Karena selama 26 tahun tidak jelas kasusnya, dan kami merasa itu penting untuk terus diingat,” kata Nadine.
Apa yang terjadi pada Marsinah 26 tahun lalu, menurut Nadine, tetap bermakna dalam konteks saat ini. Barangkali, aktivis perempuan muda seperti Nadine menghadapi tantangan yang berbeda dengan buruh seperti Marsinah. Namun, semangat perlawanannya sebagai perempuan akan terus menjadi inspirasi.
“Perlawanan dan keberanian dia yang patut diingat dan terus diperjuangkan. Kami bilang, Marsinah akan terus ada yang berlipat ganda. Itu adalah harapan kami untuk meneruskan semangat Marsinah. Untuk terus melawan ketidakadilan, terutama bagi orang-orang yang termarginalkan,” tambah Nadine.
Salah Satu Inspirasi Gerakan Perempuan
Marsinah adalah aktivis dan buruh di pabrik arloji, PT Catur Putra Surya (CPS), di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada 3-4 Mei 1993, dia memimpin 150 dari 200 buruh di pabrik itu melakukan demo menuntut kenaikan gaji. Pabrik ketika itu masih menggaji mereka Rp 1.700 per hari. Pemerintah Jawa Timur telah menetapkan instruksi kenaikan upah, sehingga Marsinah dan buruh lain menuntut gaji menjadi Rp 2.250 per hari.
Tanggal 5 Mei, perwakilan buruh yang demo dipanggil ke Kodim Sidoarjo. Mereka diminta menandatangani surat pengunduran diri. Sehari setelah itu, Marsinah diculik dan jasadnya baru ditemukan pada 8 Mei 1993 di Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Otopsi di Bagian Forensik RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan Marsinah meninggal dunia akibat penganiayaan berat. Terdapat luka di sekujur tubuhnya, tulang yang hancur, usus robek, memar pada kandung kemih hingga pendarahan rongga perut. Kasus pembunuhan ini gelap sampai sekarang. Tidak pernah terungkap siapa sebenarnya yang membunuh Marsinah dengan begitu kejam.
Sukiratnasari dari Jaringan Perempuan Yogyakarta, dalam kesempatan berbeda menyebut Marsinah sebagai sosok pemberani. Marsinah adalah seorang perempuan yang melawan sistem dan membuat perubahan besar dalam sistem perburuhan terutama untuk buruh perempuan.
“Kecerdasan, keberanian, kegigihan dan semangat pantang menyerahnya menginspirasi perjuangan perempuan yang memang tidak mudah untuk melawan sistem yang tidak adil,” kata perempuan yang akrab dipanggil Kiki ini.
Kiki menyampaikan itu ketika VOA menanyakan, apa makna perjuangan Marsinah di masa lalu dalam konteks perempuan masa kini. Menurutnya, Marsinah memberikan semangat kepada siapa saja, bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia. Semangat itu mampu menjadikan nyala api perjuangan perempuan tidak padam, dalam menghadapi tantangan sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Tantangan itu, terutama dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak perempuan.
“Perjuangan kami ini tidak seberapa dibanding apa yang dulu dihadapi marsinah. Kalau Marsinah saja berani menyerahkan dirinya, kami juga harus berani,” tambah Kiki.
Marsinah Lentera Buruh
Dihubungi terpisah, Ketua Aliansi Buruh Yogyakarta, Kirnadi menilai, kasus Marsinah adalah salah satu dari sekian kasus yang menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja, pengorbanan serupa bukan hanya dialami Marsinah. Pada periode 1998, ketika Orde Baru mulai kehilangan kekuasaan, sejumlah aktivis juga tak diketahui nasibnya sampai saat ini.
Di kalangan buruh, kata Kirnadi, Marsinah adalah ikon semangat perjuangan khususnya bagi buruh perempuan. Mereka menjadi semakin yakin dalam memperjuangkan kesetaraan dalam upah dan kebebasan berserikat. “Marsinah tetap menjadi lentera bagi buruh di Indonesia, walapun rejim telah berganti,” tambahnya.
Yang diingat kaum buruh, lanjutnya, adalah dugaan keterlibatan oknum militer dalam kasus ini. Ingatan tentang Marsinah, adalah kenangan tentang betapa represifnya Orde Baru ketika itu. Pemerintahan telah beberapa kali berganti dan tidak ada satupun yang mampu mengungkap kasus ini secara tuntas. Kirnadi menegaskan, dugaan-dugaan seperti itu tidak pernah hilang.
Apa yang dihadapi buruh saat ini, ujar Kirnadi, sebenarnya belum jauh beranjak dari apa yang terjadi ketika Marsinah terbunuh.
“Secara umum lebih baik tetapi, tidak semua teman-teman merasakan perbaikan. Persoalan seperti yang dihadapi Marsinah, masih cukup banyak. Yang merasakan gaji buruh tidak sesuai UMK, masih ada union busting. Ada perubahan memang iya, ada kebebasan berfikir, berserikat dan berkumpul juga iya. Tetapi masih banyak, di sudut-sudut pabrik di Indonesia, buruh merasakan apa yang dirasakan oleh Marsinah,” tambah Kirnadi. (nh/em)