Dua minggu menjelang berakhirnya masa kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 16 Desember nanti, Komisi Hukum DPR seharusnya telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 nama calon pimpinan KPK yang telah diserahkan oleh panitia seleksi pimpinan KPK itu sebelumnya.
Namun, hingga kini DPR belum melakukan itu karena masih belum ada wakil dari pihak kejaksaan yang dicalonkan dan adanya beberapa nama yang tidak memiliki latar belakang pendidikan dan berkarir minimal 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan dan perbankan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo hari Kamis (26/11) menilai alasan komisi hukum DPR itu sangat dibuat-buat. Perwakilan jaksa di pimpinan KPK tidak harus ada karena menurutnya mereka bisa ditempatkan di posisi penyidik.
“Ini alasan politik yang mengada-ngada yang dimaksudkan untuk mencari calon-calon yang bisa diajak “bekerjasama”untuk kepentingan jangka pendek mereka,” ujar Adnan.
Hal yang sama juga diungkapkan peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Susanto Ginting, yang menilai berdasarkan UU KPK tidak ada kewajiban yang mensyaratkan unsur keterwakilan dari semua unsur, termasuk polisi dan kejaksaan. Ditambahkannya, yang seharusnya menjadi ukuran penting adalah seberapa independen, bagaimana integritasnya dan apakah calon-calon itu bebas dari konflik kepentingan. Menurut Ginting, seleksi calon pemimpin KPK harus ketat dan cermat karena mereka yang kelak menentukan apakah KPK akan semakin baik atau tidak di kemudian hari.
"Jadi titik tekannya pada apa-apa integritas calon, kompetensi, pada independensi serta minimnya konflik kepentingan dari calon yang bersangkutan. Nah lebih kepada aspek personalnya,” kata Miko.
Hasil Survei ICW terhadap 1.500 responden menunjukan bahwa 73% responden menyatakan pimpinan KPK tidak harus ada yang berlatar belakang jaksa. Sementara 79,4% lainnya menyatakan tidak harus ada perwakilan dari kepolisian.
Ketika ditanya latar belakang apa yang sebaiknya menjadi pimpinan KPK, mayoritas responden atau sebanyak 43,3% memilih profesi akademisi. Sementara 38,7% lainnya menilai masyarakat sipil bisa menjadi latar belakang pimpinan KPK yang baik.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan perwakilan jaksa di pimpinan KPK adalah mutlak karena selain berwenang menuntut, jaksa dapat merangkap tugas polisi yaitu penyelidikan. Jika Komisi III yang membidangi hukum itu membatalkan nama calon-calon pimpinan lembaga anti korupsi itu, maka presiden dapat menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-undang).
“Presiden juga menetapkan orang yang disitu kemudian ada jaksa. Pada dasarnya Perppu dibuat presiden bisa melakukan apa saja. Presiden dengan Perppu bisa memilih pimpinan KPK sesempurna mungkin,” jelas Fahri.
Daftar pimpinan KPK sejak era pertama memang memiliki perwakilan dari kejaksaan. Tumpak Hatorangan Pangabean adalah wakil jaksa yang menjadi pimpinan KPK periode pertama. Disusul Antasari Azhar yang memiliki pengalaman di kejaksaan sejak tahun 1985, sebelum terpilih menjadi pimpinan KPK tahun 2007. Demikian pula pimpinan KPK saat ini – Zulkarnaen – yang merupakan perwakilan dari kejaksaan. [fw/em]