Tautan-tautan Akses

Masyarakat Sipil Desak Penyelesaian Komprehensif 'Kasus Purbayan'


Tokoh Lintas Agama Kyai Abdul Muhaimin (tengah mengenakan peci) Selasa (18/12) mengundang perwakilan pihak-pihak yang terkait dengan pemotongan salib di makam Jambon di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. (foto: Courtesy Kyai Muhaimin).
Tokoh Lintas Agama Kyai Abdul Muhaimin (tengah mengenakan peci) Selasa (18/12) mengundang perwakilan pihak-pihak yang terkait dengan pemotongan salib di makam Jambon di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. (foto: Courtesy Kyai Muhaimin).

Kelompok-kelompok Masyarakat Sipil, Rabu (20/12) mendesak agar pemerintah bersama masyarakat Yogyakarta menyelesaikan masalah terkait kasus pemotongan salib di makam Purbayan Kotagede, Yogyakarta, secara komprehensif hingga ke akar persoalan.

Kelompok Masyarakat Sipil diantaranya LBH Yogyakarta, Interfidei, Setara Institute, dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Rabu (20/12) mendesak agar pemerintah bersama masyarakat Yogyakarta menyelesaikan secara komprehensif persoalan terkait pemotongan salib di makam Purbayan Kotagede hingga ke akar masalah.

Elga Sarapung, direktur Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia) mengatakan, selama ini banyak persoalan lintas-agama di Indonesia tidak diselesaikan hingga ke akar masalahnya. Ia meminta agar masalah di Purbayan tidak serta-merta dinyatakan selesai tanpa menyentuh akar masalahnya.

“Kita itu tidak pernah benar-benar menyelesaikan konflik sampai pada akar persoalan, mengapa konflik terjadi. Termasuk konflik-konflik yang besar ya, Ambon, Poso, biasanya kita itu yang penting ngomong, duduk, pelukan, tanda-tangan lalu bikin pernyataan, selesai dan disebarkan. Dalam scope kecil kemarin (di Purbayan), juga terjadi seperti itu. Sepertinya surat pernyataan (isteri almarhum) itu menjadi cerminan bahwa persoalan sudah selesai. Menurut saya, aparat di sana harus serius dengan ini, jangan memotong salib kemudian persoalan dianggap selesai, tanda-tangan sudah selesai, toh keluarga-isteri almarhum sudah ikhlas,” jelas Elga.

Halili, peneliti Setara Institute mengatakan, Yogyakarta tahun 2018 ini keluar dari 10 daerah dengan score toleransi paling rendah di Indonesia, tetapi masih berada pada peringkat Oranye, yang artinya bukan terburuk tetapi belum baik.

Ia juga menemukan tiga indikator yg memiliki skor paling rendah yaitu pada tindakan pemerintah, inklusi sosial keagamaan dan rencana pembangunan.

Yang terjadi di Purbayan, menurut Halili, menegaskan bahwa inklusi keagamaan masih perlu ditingkatkan dan menuntut rencana pembangunan yg lebih progresif.

Ia berharap pemerintah lokal membuat pernyataan sekaligus tindakan yang berpihak kepada kesetaraan dan tidak ada gunanya menutupi adanya masalah intoleransi.

“Tidak ada penyelesaian komprehensif terhadap peristiwa (Purbayan) itu, yang cenderung terlihat didepan publik adalah kesan pemerintah lokal baik di kota maupun propinsi cenderung defensif terhadap peristiwa itu yang seakan mereka ingin katakan tidak ada apa-apa dibalik peristiwa itu. Padahal kalau mau dilihat dari perspektif hak minoritas itu tentu bermasalah. Kita tuntut pemerintah lokal mengambi prakarsa yang lebih komprehensif , tidak sekadar kasus itu, untuk melakukan semacam rekonstruksi sosial agar basis sosial toleransi kembali terbangun di Yogyakarta,” kata Halili.

Halili juga mensinyalir berkembangnya konservatisme di Yogyakarta. Menangani persoalan ini, ia berharap tokoh-tokoh moderat dan toleran berkiprah untuk membangun resiliensi sosial agar masyarakat terlindungi dari masuknya kelompok radikal dan silent extremism.

Agnes Dwi Rusjiyati dai Aliansi Nasional Bhineka tunggal Ika mengusulkan agar kelompok masyarakat sipil lebih banyak berperan untuk meningkatkan toleransi di masyarakat. Ia juga berharap masyarakat lebih menghormati simbol-simbol agama karena terkait dengan hal azasi manusia.

“Tentunya kita perlu mempertanyakan juga bagaimana upaya dan gebrakan masyarakat sipil di Yogyakarta. Kelompok masyaraat sipil itu siapa saja, termauk jurnalis, kelompok agama, kelompok masyarakat sipil yang lain. Upaya apa yang telah mereka lakukan, ini perlu kita dorong juga makin banyak dari mereka untuk bersuara,” kata Agnes.

Yogi Zul Fadhli, direktur LBH Yogyakarta mengatakan sebenarnya tidak relevan menyebut kelompok mayoritas dan minoritas di masyarakat karena semua dilindungi oleh konstitusi. Tetapi dalam prakteknya kelompok yang lebih kecil harus berkompromi dengan yang besar. LBH, kata Yogi, sering mendampingi korban kompromi seperti itu.

“Tahun lalu kami mendampingi teman-teman GKJ Gunungkidul yang ingin mendirikan sekretariat untuk gerejanya tetapi kemudian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) nya tidak diterbitkan oleh bupati dengan alasan akan memunculkan konflik sosial di level masyarakat. Sudah dikuatkan dengan adanya putusan pengadilan tetapi hingga hari ini pemerintah tetap tidak menerbitkan ijinnya,” jelas Yogi Zul.

Sementara itu, di Balai Kota Yogyakarta, gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X dan Walikota Hariyadi, Rabu (20/21) siang, mengadakan dialog dengan para tokoh dan aparat Kotagede.

Sultan menegaskan, dialog sudah berulang kali dilakukan dan tidak terjadi masalah kerukunan di Kotagede. Namun ia mengingatkan bahwa ekspresi keagamaan dilindungi oleh undang-undang. Hanya saja, masyarakat lokal Kotagede kemungkinan tidak paham tentang intoleransi. Karena itu ia minta agar pemotongan salib tidak terjadi lagi di masa depan.

Pada kesempatan itu, Sultan meminta maaf kepada isteri almarhum Albertus Slamet Sugihardi atas peristiwa pemotongan salib di Purbayan.

“Ya, kepada bu Slamet saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya dari peristiwa yang ada ini. Meskipun tadi kita semua mendengar bahwa itu bukan kesengajaan tetapi sebagai pembina wilayah saya wajib meminta maaf. Ini bagi kita menjadi pembelajaran bagaimana masyarakat Yogya itu tetap bisa menjaga toleransi, masyarakat tetap rukun, damai dan merasa aman dan nyaman tinggal di Yogyakarta”.

Sementara itu, GKR Hayu, salahsatu puteri Sultan Hamengkubuwono X mencuit di akun twitternya merespon peristiwa di Purbayan Kotagede. Ia mengatakan, postingan medsos maupun berita tidak selalu menceritakan kejadian yang lengkap.

Menyangkal bahwa Yogyakarta intoleran, GKR Hayu menulis bahwa Jogja akan selalu dicap sebagai intoleran oleh para netizen yang ia sebut mudah menyebarkan berita.

Cuitan GKR Hayu mendapat puluhan respon yang umumnya menyayangkan bahwa Yogya memang semakin tidak toleran. [ms/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG