Bejo Mulyono, tokoh desa Purbayan, Kotagede menjelaskan kepada VOA, Rabu (19/12) pemotongan salib yang terbuat dari kayu hingga berbentuk huruf T pada makam almarhum Albertus Slamet Sugihardi, yang meninggal dan dimakamkan di pemakaman Jambon Purbayan, kecamatan Kotagede, hari Senin (17/12/18), sudah merupakan kesepakatan antara warga dengan keluarga almarhum, serta tokoh Kristiani setempat bernama Sunarto.
Bahkan, kata Bejo, warga yang semuanya beragama Islam mempersiapkan keperluan pemakaman almarhum. Ia mengakui, sebelum pemakaman ia didatangi para tokoh agama dan pengurus takmir masjid Nurul Huda yang menyatakan bahwa karena darurat almarhum bisa dimakamkan di Jambon Purbayan dengan syarat tidak mencolok dan letaknya di bagian pinggir makam.
“Di kampung Purbayan mayoritas Muslim, hanya 3 rumah non Muslim dari sekitar 300 rumah. Ketika ada kabar pak Slamet meninggal, semua pergi ke rumah sakit. Kita yang Muslim warga sekitarnya menyiapkan semuanya, disepakati untuk dimakamkan di pemakaman Jambon (di desa Purbayan). Oleh para pemuka masyarakat di Purbayan disetujui boleh dimakamkan di Jambon karena darurat, lalu makamnya nanti agak di pinggir. Dengan catatan tidak ada simbol Kristiani,” ujar Bejo.
Menurut Bejo, almarhum semasa hidupnya berhubungan baik dengan warga, termasuk menjadi pelatih koor para ibu setempat. Bejo, yang sudah menyiapkan penjelasan tertulis, mengakui bahwa warga Purbayan yang hampir seluruhnya beragama Islam memang belum bisa menerima peribadatan Kristiani.
“Karena di wilayah kampung kami itu semuanya Islam. Saran dari para tokoh masyarakat ya seperti itu. Biar tidak tampak lain sendiri gitu lho, dan itu disepakatai semua pihak. Tapi kita itu dikira intoleransi. Padahal hubungan kami itu bagus kecuali soal peribadatan. Padahal kita tidak ada masalah sama sekali. Lha wong yang kesripahan (ahli waris almarhum) itu menyampaikan trima-kasih sekali atas bantuan teman-teman Purbayan yang Islam semua,” tambah Bejo.
Merespon pemotongan salib tersebut, Martinus, umat paroki Pringgolayan yang membawahi wilayah Purbayan, bisa menerima kompromi itu. Apalagi jika keluarga tidak memiliki cukup biaya untuk melakukan pemakaman di makam khusus Kristiani. Tetapi sebagai umat Kristiani, Martinus mengaku keberatan dengan pemotongan salib itu.
“Kalau secara reliji dan pribadi memang saya keberatan (dengan pemotongan salib) namun kita itu hidup bertetangga kan penuh dinamika. Nah, kita harus menghormati tradisi dan budaya yang berkembang di suatu tempat. Salib itu memang simbol ummat Katholik sebagai tanda kemenangan Kristus bangkit, namun kalau tindakan itu menjadi jalan terbaik ya menurut saya tidak apa-apa”.
Redakan Kontroversi, Tokoh Pemimpin Ponpes Kotagede Lakukan Pertemuan
Kyai Abdul Muhaimin, tokoh lintas agama yang juga pimpinan pondok pesantren puteri Nurul Ummahat Kotagede mengatakan, pro-kontra muncul setelah foto tentang pemotongan salib beredar luas di media sosial. Maka pada Selasa (18/12) ia melakukan pertemuan dengan 30 orang yang mewakili pihak terkait untuk mencegah agar eskalasi peristiwa tersebut tidak meluas.
“Beberapa informasi yang simpang siur itu bisa kita verifikasi, karena makam itu memang makam Muslim tetapi lalu ada orang yang “ menyelipkan” pemakaman maka diperbolehkan. Tetapi tidak diperbolehkan ada simbol salib, maka untuk menghindari kesan salib maka dipotong atasnya sehingga tinggal bentuk T dan itu atas kesepakatan warga dan kerelaan pihak keluarga,” kata Muhaimin.
Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X kepada wartawan pada Rabu (19/12) menegaskan, sebenarnya tidak ada masalah diantara warga Purbayan.
“Itu bukan soal pemotongan (salib) tetapi yang di situ ada masyaraat yang beda agamanya. Daripada di makam Mrican (yang khusus untuk Kristiani dan harus membayar, red.), mereka sepakat dimakamkan di situ saja, terus ada kesepakatan. Ya memang viral tetapi kan tidak seperti yang disampaikan di situ, ada demonstrasi, ada ini itu...lantas Yogya dianggap intoleran, ya itu konsekuensi, karena di-viralkan, yang sebetulnya tidak ada masalah,” ungkap Sultan.
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika Prihatin Masih Terjadinya Aksi Intoleransi
Agnes Dwi Rusjiyati dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menyatakan heran bahwa masih banyak orang belum bisa menerima perbedaan. Sebenarnya, kata Agnes, Yogyakarta sudah tidak masuk daftar kota intoleran.
Tahun 2018 ini tercatat ada sembilan kejadian intoleransi, lalu tambah satu kasus di Kotagede, yang menurutnya merupakan pelanggaran serius.
Sementara pada tahun 2017 terdapat 23 kasus keberagaman, 10 di antaranya persoalan dari tahun 2017 yang belum selesai. Ia mengharapkan peran lebih besar dari pemerintah untuk meningkatkan toleransi.
“Kita harapkan pemerintah turun langsung ke lapangan dengan segala sumberdaya yang ada. Karena pemerintah ini kan punya pemerintah kota, punya FKUB (Forum Kerukunan Ummat Beragama), menurut saya ini peran dan tugasnya untuk tanggung jawab di sana. Kemudian ada progres yang baik bagaimana peran-peran semua stakeholder yang ada di kota Yogya, menjadikan peristiwa kemarin itu bukannya yang penting sudah ada yang tanda-tangan berarti sudah selesai, tidak,” tukas Agnes.
Menurut Agnes, seharusnya peristiwa Kotagede itu mendorong pemerintah dan masyarakat melakukan langkah konkrit menjaga keberagaman. Dan media sosial dapat memainkan peran positif untuk mengkampanyekan keberagaman.
“Justru menjadi warning bagi kita bahwa telah terjadi peristiwa-peristiwa ini,. Ada langkah riil untuk kemudian melakukan pendampingan ke masyarakat. Tokoh-tokoh agama saling menjaga umatnya masing-masing, memberikan penanaman nilai-nilai tentang bagaimana hidup berdampingan tanpa kemudian melukai yang berbeda atau mendiskriminasi yang sedikit jumlahnya,” tambah Agnes.
Sementara itu, Bejo Mulyono mengaku siap untuk melakukan dialog lebih intensif terkait keberagaman. Warga Purbayan masih ingin melakukan pertemuan untuk kebaikan di masa depan. (ms/em)