“Padahal, tidak!” cetus Vivi Herlambang, koordinator hotel repatriasi Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Ia kemudian membeberkan pembagian uang yang diterima dari pelaku karantina, mulai dari untuk transportasi, biaya lab untuk PCR, tenaga kesehatan yang bertugas 24 jam, keamanan, dan hotel.
“Enam puluh lima persen (untuk) hotel, sedangkan yang dibayar-bayari ke orang lain 35%. Tapi 65% ini masih dikurangi tax service 21%,” keluhnya.
Pada akhirnya, kata Vivi, yang sehari-hari menjabat direktur pengembangan bisnis, penjualan dan pemasaran untuk hotel dan resor Sahid, hotel hanya menerima setengah dari biaya itu.
“Hanya 50 persen. Itu untuk yang repatriasi. Untuk yang isolasi, lebih kasihan. Lebih kecil,” lanjutnya.
Dari jumlah itu, kata Vivi, hotel membiayai operasi sehari-hari, mencakup listrik, kebersihan dan gaji karyawan, selain membayar jasa layanan paket repatriasi seperti paket makan lengkap tiga kali sehari dan ongkos cuci pakaian.
“Kami tidak pernah ada niatan untuk (dapat) revenue setinggi-tingginya. Tidak. Kita tujuannya adalah membantu negara,” imbuhnya.
Vivi mengingatkan, pekerja migran, pelajar, dan PNS yang tugas ke luar negeri bisa menjalani karantina tanpa membayar. Lainnya, seperti turis, harus karantina mandiri. Ia memaklumi kalau pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) menilai biaya ini mahal.
“Prinsipnya mereka tidak mau karantina. Tetapi karena harus dikarantina dengan aturan-aturan ini, maka mereka harus dikarantina.”
Konsultan independen kesehatan masyarakat dari LaporCOVID-19, Irma Hidayana, mengaku bisa menerima penjelasan Vivi, tetapi dengan berbagai catatan. LaporCovid adalah kelompok warga yang peduli pada hak asasi dan masalah kesehatan masyarakat terkait COVID-19. Kelompok itu banyak menerima keluhan masyarakat, termasuk kondisi hotel karantina.
“Banyak hotel yang fasilitasnya kotoooor sekali. Foto-fotonya beredar juga di medsos. PHRI saya kira juga perlu menertibkan karena yang kita hadapi adalah respiratory disease. Kalau ventilasi tidak ada, kamar kotor, tempat tidur, sarung bantal dan lain sebagainya bau dan kotor, saya kira itu perlu monitoring terus-menerus.”
Keluhan serupa diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua pengurus harian YLKI Tulus Abadi menguraikan, keluhan itu.
“Pertama terkait biaya yang sangat mahal, di luar standar. Kedua, fasilitas yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan,” ujarnya.
Ia meminta PHRI menjaga agar PPLN tidak menjadi korban oknum maupun sistem yang tidak berpihak kepada warga negara sendiri. Ia juga meminta dilakukan semacam investigasi dan sanksi.
“Pengaduan-pengaduan itu harus ditindaklanjuti. Jangan sampai ada upaya atau fenomena pemerasan oleh oknum-oknum tertentu, oleh aparat-aparat tertentu, yang kemudian masyarakat atau konsumen menjadi korbannya,” imbuh Tulus.
Irma dan Tulus meminta PHRI menertibkan anggota yang tidak mampu memberi layanan semestinya guna mencegah penularan COVID dan PPLN tidak sampai tertular penyakit justru dari hotel.
Sejak Juni 2021, apartemen eksekutif Mayflower yang dikelola Marriott terpilih menjadi hotel karantina. Direktur Penjualan dan Pemasaran Mayflower, Lisa Gunawan, mengatakan konsumen yang mereka bidik adalah keluarga dan ekspatriat. Tarif paket repatriasi di sana mulai Rp10 juta per orang untuk 4 malam 5 hari.
Demi Kesehatan dan kebersihan, kata Lisa, hotelnya mempunyai jendela yang bisa dibuka dan tidak menggunakan karpet. Yang berbeda dari hotel lain, area apartemen luas dan tersedia dapur bahkan mesin cuci. Pihak hotel tetap menyediakan makan tiga kali sehari plus camilan.
Tantangannya, Lisa menambahkan, memenuhi selera tamu yang beragam karena dari negara berbeda.
“Setiap negara beda-beda taste-nya. Bahkan ada dietary plan sendiri. Nah, itu semua harus kita akomodasi,” tukas Lisa.
Lisa mengaku bersyukur tamu hotelnya, “tidak begitu cerewet.” Dia tidak mengalami keluhan soal makanan dan kondisi kamar. Tipsnya,…
“Makanan. Itu paling penting. Pihak hotel harus menyediakan makanan yang cukup secara gizi, porsi, dan variety,” jelasnya.
Saat ini, tarif paket karantina 4 malam 5 hari beragam, tergantung hotel yang dipilih. Untuk bintang 2, kata Vivi, mulai dari Rp3,5 juta, dan semakin mahal sampai bintang 5 dan hotel mewah.
Tetapi, Vivi mengatakan, “Saya sudah sampaikan ke seluruh hotel yang bergabung dalam repatriasi, ini bukan bisnis. Ini jangan dilihat sebagai bisnis.” [ka/ab]