Ketika Islam bermula, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran. Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender.
Peneliti sejarah Islam dari Perancis, Samia Kotele menyebut salah satu prinsip dalam agama Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad, mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan. Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlibat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi semakin terpinggirkan.
“Partisipasi perempuan dalam ranah keagamaan menurun seiring dengan perkembangan ranah produksi keagamaan dan konstruksi normatif, itu sekitar abad ke delapan,” kata Samia.
Kandidat Ph.D di Institut Studi Politik, Lyon, Prancis, itu berbicara dalam kolokium ulama perempuan seri pertama, pada Minggu (26/12) malam. Tema yang dibahas adalah pertanyaan bernada protes: Mengapa Ulama Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah. Samia telah melakuan penelitian berkaitan dengan isu tersebut selama dua tahun, dan akan memulai penelitian lapangan di Indonesia saat ini.
Marginalisasi dan Interpretasi
Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi, yang punya akses terhadap teks kitab suci. Fenomena marginalisasi mulai terlihat jelas pada saat itu dibuktikan dengan hanya sekelompok perempuan tertentu yang memiliki akses terhadap teks keagamaan.
“Perempuan di lingkaran Nabi tidak hanya berpartipasi dalam produksi keilmuan Islam, tetapi juga terlibat dalam tradisi pemikiran kritis di dalam keilmuan tersebut,” tambah Samia.
Penurunan peran ulama perempuan seiring waktu melahirkan kondisi baru terkait interpretasi teks keagamaan.
“Marjinalisasi perempuan dalam tradisi ini, memungkinkan ulama laki-laki untuk menginterpretasikan ayat-ayat suci dalam perspektif laki-laki,” ujarnya lagi.
Karena kondisi itulah, Samia menilai suara para ulama perempuan tetap tidak terdengar, sebab terpinggirkan dari domain ideologis.
Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di abad ke-20. Ketika Muhammadiyah berdiri misalnya, mereka langsung mendirikan organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meski tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.
Karena sejarah panjang itu pulalah, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan.
Hilang dari Sejarah
Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai penelitian yang dilakukan Samia sangat penting bagi sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ita sendiri saat ini tengah melakukan penelitian terkait marginalisasi gerakan perempuan Indonesia, sesudah peristiwa 65.
“Peristiwa 30 September 1965 itu mempunyai dampak yang sangat besar, terhadap gerakan perempuan, termasuk gerakan ulama perempuan,” kata Ita yang juga turut mendirikan Komnas Perempuan.
Fakta peminggiran peran ulama perempuan, dinilai Ita sangat jarang dibahas dalam kajian sejarah Indonesia. Padahal hal tersebut penting, untuk menjadi pengetahuan bersama.
Karena keterbatasan sumber tertulis, narasi oral nampaknya akan menjadi sumber data dalam studi semacam ini.
“Ini akan memanggil kembali memori dari ulama perempuan, tentang bagaimana perjuangannya, dan ini penting disimpan sebagai arsip,” tambah Ita yang juga aktif di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS).
Ita bahkan menyebut, gerakan perempuan tidak hanya dibungkam, tetapi dibunuh oleh sejarah.
Akibat pembungkaman panjang itu, banyak pihak di Indonesia bahkan tidak menyadari keberadaan dan peran ulama perempuan, seperti dikatakan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid.
“Kita baru sadar ada ulama perempuan dan istilah ulama perempuan, akhir-akhir ini, terutama ketika ada KUPI dan sebelumnya. Betapa pentingnya kehadiran dan peran ulama perempuan dalam panggung sejarah dan panggung kehidupan hari ini,” kata Marzuki.
Seluruh proses perbincangan mengenai sejarah dan peran ulama perempuan, penting untuk dicatat karena KUPI akan menyelenggarakan kongres keduanya pada November 2022.
Pengurus KUPI sekaligus pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nur Rofiah turut menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang menimpa ulama perempuan di Indonesia.
“Benar-benar sosoknya seperti tidak ada. Banyak ulama perempuan penting, tetapi dalam narasi sejarah tidak muncul sama sekali,” ujar Nur Rofiah.
Dia memberi contoh, Sultanah atau Sultan perempuan di Aceh yang meski perannya besar dalam sejarah Indonesia, tetapi tidak muncul dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sementara dalam Islam, banyak pula tokoh ulama perempuan yang dahsyat, namun tidak muncul dalam tarikh Islam.
“Misalnya Ummu Salamah, yang baru kita tahu belakangan setelah gencar kita bicara perspektif perempuan, termasuk dalam sejarah,” tambah Nur Rofiah. [ns/rs]