Jika menyebut kata ulama, yang terbayang di benak mayoritas orang tentu wajah seorang tokoh agama laki-laki. Padahal, ada banyak ulama perempuan di Indonesia, yang memiliki peran tidak kalah besar. Relasi kuasa yang timpang menyebabkan penghargaan bagi mereka kurang.
Karena itulah, masyarakat disarankan perlu tegas menggunakan istilah ulama perempuan, untuk menyebut mereka yang memiliki kualifikasi tersebut. Pendapat itu disampaikan Prof Etin Anwar, diaspora Indonesia yang juga dosen di Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat.
“Ketika kita tidak membedakan laki-laki dan perempuan, maka kemudian kita tidak bisa membedakan relasi kuasa. Karena pada dasarnya, kalau dari perpektif relasi kuasa, kita tahu bahwa ketika berbicara ulama, maka ulama itu laki-laki. Ketika berbicara ulama laki-laki, maka ulama tersebut memiliki relasi kuasa yang sangat dominan,” kata dia.
Etin Anwar berbicara pada Seminar Nasional Kajian Islam (SNKI) III, yang diselenggarakan Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Seminar ini berlangsung 25-26 Oktober 2021, dengan menghadirkan sejumlah pembicara. Salah satu tema yang dibahas adalah Membaca Fenomena Ulama Perempuan di Indonesia.
Kuasa Ulama Laki-Laki
Ulama laki-laki memiliki relasi kuasa terhadap ilmu pengetahuan, masyarakat, dan terhadap otoritas. Karena posisi ulama perempuan adalah minoritas, maka penyebutannya dengan jelas menjadi penting. Bahkan, keputusan ini bisa mendorong tumbuhnya upaya afirmatif, yaitu terobosan khusus dengan tujuan baik, yaitu mendorong posisi ulama perempuan. Etin menyebut, masih ada keterbatasan bagi ulama perempuan untuk terlibat dalam kancah luas.
“Misalkan contoh kecil, berapa persen ulama perempuan kita terlibat di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Misalkan ini. MUI itu lembaga mewakili ulama-ulama dalam keterkaitannya dengan urusan-urusan keagamaan, yang sifatnya inklusif. Berapa persen perempuannya? Bisa enggak, Ketua MUI itu perempuan,” kata Etin retoris
Kasus yang sama, dicontohkan Etin dalam organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU). Sulit untuk bisa membayangkan, bahwa NU akan dipimpin oleh seorang ulama perempuan.
Relasi kuasa ulama laki-laki dalam hal keilmuan, bisa terjadi karena proses belajar mereka lebih banyak. Masih banyak ulama perempuan yang terjerat pekerjaan domestik, seperti memasak dan mencuci piring.
“Kalau misalnya, kita pergi ke pertemuan para ulama, pasti ujung-ujungnya, peranan ulama perempuan itu biasanya informal. Istri kyai, walaupun hebat, pasti di belakang layar. Dia yang mengatur-atur makanan dan lainnya,” tambah Etin.
Terhadap kondisi ini, menurut Etin, saat ini paling tidak harus ada pengakuan, terhadap persoalan tersebut. Jika sudah disadari bahwa kondisi itu adalah masalah, tentu akan ada upaya untuk mengatasinya.
Ulama Perempuan Bermakna Luas
Dosen Sosiologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Dzuriyatun Toyibah melebarkan makna ulama, sesuai paparan yang disampaikan pemikir muslim, Prof. Azzumardi Azra pada 2004 lalu. Dia menyebut, ulama ada di kampus, pesantren, organisasi masyarakat, dan ulama tabligh. Dalam pengertian yang luas, seorang cendekiawan muslim sebenarnya juga bisa disebut sebagai ulama. Belakangan ini, dengan kemajuan internet, ada pula ulama yang memperoleh pengakuan karena bantuan media sosial.
Di lingkungan perguruan tinggi, kondisinya tidak jauh berbeda. Menurut Dzuriyatun, perbandingan cendekiawan perempuan dan laki-laki timpang.
“Umumnya, mahasiswa terbaik itu perempuan. Tetapi kemudian sangat sedikit yang menekuni secara serius. Ini bukan kesalahan pejabatnya, karena memang perempuan itu dari awal tidak terlalu diekspektasikan dari keluarganya untuk menekuni dunia akademik,” kata Dzuriyatun, Selasa (26/10).
Namun ini adalah dampak sejarah panjang. Filsuf-filsuf terkemuka dunia semuanya laki-laki, karena mereka memiliki akses ke pendidikan sejak ribuan tahun lalu. Perempuan baru masuk ke dunia akademis sekitar abad ke-17.
Masalahnya sama, yaitu ketimpangan relasi kuasa. Laki-laki secara umum, kata Dzuriyatun, lebih mudah berkiprah dibanding perempuan, baik di lingkup keagamaan maupun pendidikan.
“Saya mewawancarai perempuan yang mencari S2. Itu saja suaminya takut, nanti perempuan lebih pintar dari suami, nanti tidak menghormati. Itu masih terjadi sampai sekarang,” kata Dzuriyatun.
Jejak Panjang Peranan
Aktivis perempuan Yuniyanti Chuzaifah yang mencoba merangkum diskusi selama dua hari ini menyebut, jejak ulama perempuan di Indonesia sebenarnya sudah sangat panjang. Sejak ratusan tahun lalu, peran ulama perempuan di Aceh misalnya, telah tercatat.
Menurut Yuni, dalam sejarah Nusantara, ulama perempuan selalu berada dalam posisi harus bernegosiasi terkait otoritas. Di periode lebih modern, apa yang terjadi di lingkungan organisasi perempuan Muhammadiyah, yaitu Aisyiyah, bisa menjadi contoh. Dalam sebuah dokumen lama di majalah Suara Aisyiyah, Yuni menemukan peristiwa yang menggambarkan kondisi ini.
Pada saat Muhammadiyah menggelar kongres di periode-periode awal organisasi itu, masih ada penafsiran bahwa suara perempuan adalah aurat, sehingga perempuan tidak bisa bersuara di kongres.
“Tetapi ulama-ulama perempuan dari Aisyiyah tidak mau kehilangan akal. Sehingga mereka menerbitkan Suara Aisyiyah, di mana di sana menjadi kanal untuk mengamplifikasi pemikiran progresif mereka,” kata Yuni.
Suara Aisyiyah adalah majalah perempuan tertua di Indonesia, yang terbit pertama kali pada 1926. Aisyiyah sendiri didirikan oleh Nyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1917.
Melalui media inilah, ulama perempuan di Aisyiyah serius menggarap sejumlah isu, khususnya pendidikan. Upaya modernisasi pola pendidikan dilakukan hingga ke level domestik.
“Walaupun dilarang otoritasnya untuk bersuara di ruang-ruang publik, tetapi keulamaan perempuan mampu melipir untuk bisa masuk ke ruang-ruang yang strategis melalui penerbitan-penerbitan,” kata Yuni yang juga Ketua Komnas Perempuan 2010-2014.
Salah satu strategi untuk masuk ke wilayah yang masih dikuasai lebih banyak ulama laki-laki saat ini adalah legitimasi akademik. Ulama perempuan yang juga aktif di ruang akademik dan menjadi profesor atau doktor, memiliki legitimasi kuat untuk duduk sebagai pengurus MUI, Majelis Tarjih Muhamadiyah ataupun Bahtsul Masail NU. Dengan langkah itu, keputusan organisasi Islam terkait sejumlah isu, seperti sunat perempuan, poligami, atau imam perempuan, lebih progresif karena peran ulama perempuan di dalamnya. [ns/ab]