Valentina Djelaj dilahirkan di pinggiran kota Detroit, putri dari imigran etnis Albania yang berasal dari Montenegro. Ia mengingat kembali kerja keras kedua orang tuanya agar keempat anak mereka memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik. Namun masa kanak-kanaknya jauh dari normal.
“Seumur hidup saya, ayah saya menganiaya ibu saya secara lahir dan batin. Ini merupakan hal yang sama sekali tidak saya pahami," katanya.
“Ibu saya beberapa kali dirawat di rumah sakit. Ayah saya dipenjara. Kekerasan dalam rumah tangga tidak pilih-pilih. Hal ini dapat terjadi dalam setiap budaya, di mana pun kita berada," lanjut Valentina.
Untuk mengatasi KDRT, Djelaj membenamkan dirinya dalam tugas-tugas sekolah.
Lalu pada tahun 2008, ketika ibunya ingin mengakhiri perkawinannya setelah bertahun-tahun dianiaya, ayah Delaj menembaknya dan kemudian bunuh diri dengan senapan yang sama.
“Saya yakin yang memicu tragedi ini adalah ketika ibu saya menyampaikan ingin berpisah dengannya. Ini terjadi enam bulan sebelum penembakan itu terjadi. Pada masa itu ayah saya menjadi semakin tertekan dan marah, ia tidak kuat lagi dan kehilangan kontrol," papar Valentina.
Djelaj mengatakan ibunya, Maria Djelaj, yang ketika itu berusia 38 tahun, berupaya mendapatkan surat perintah penahanan agar suaminya – atau ayah Djelaj – dijauhkan dari keluarga itu. Tetapi hakim menolak permintaan itu. Sidang pengadilan itu bahkan tidak mendengar klaim penganiayaan yang dialami Maria.
Pembunuhan dan bunuh diri itu terjadi sembilan hari setelah putusan hakim tersebut.
Pada tanggal 19 Maret 2008, hanya sembilan hari setelah hakim Macomb County Circuit Court menolak permohonan Maria Djelaj untuk mendapatkan perlindungan dari Djerdj Djelaj, laki-laki yang sudah menikahinya selama 21 tahun, ia ditembak. Maria tewas seketika di lapangan parkir gereja setelah ditembak dua kali oleh Djerdj. Djerdj berupaya bunuh diri, tapi ia masih bernafas ketika dilarikan ke rumah sakit dan meninggal keesokan harinya di RS Henry Ford Macomb di Clinton Township.
Valentina Djelaj yang ketika itu baru berusia 18 tahun luluh lantak karena peristiwa yang mengejutkan kota kecil itu.
“Hakim mengecewakan ibu saya. Orang-orang tidak percaya, mereka membuat ibu saya dan perempuan-perempuan di mana pun kecewa," kata Valentina.
Ia akhirnya memilih hidup menyendiri. Sementara kakek-neneknya merawat ketiga adik-adiknya.
“Saya tumbuh menjadi lebih kuat dan lebih termotivasi untuk membantu dunia memahami bahwa tidak ada satu orang pun layak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, tidak ada layak dibunuh," ujar Valentina.
Saat ini Dlelaj telah menjadi direktur program di sebuah organisasi layanan kesehatan dan bekerja mengatasi kekerasan dalam rumah tangga di komunitas warga Amerika keturunan Albania di Michigan. Suaminya, Marco Ruggeri, juga membantu.
“Kami berada dalam hubungan yang sehat dan indah. Perkawinan tidak seharusnya menakutkan ketika kita diperlakukan setara, merasa dicintai dan didukung," katanya.
Menurut data UN Women tahun 2021, sebelum terjadinya pandemi virus corona, 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim mereka, baik suami maupun pacar. Tiga belas persen diantara para perempuan korban KDRT itu berusia antara 15-49 tahun. Angka ini melonjak ketika pandemi virus corona dan berbagai kebijakan lockdown melumpuhkan banyak negara.
Mengutip data dari UN Women dan American Journal of Emergency Medicine, majalah TIME pada awal Januari 2021 melaporkan angka KDRT pada Maret-Desember 2020 melonjak hingga 300% di Hubei, Tiongkok; 25% di Argentina, 30% di Siprus, 3% di Singapura dan 50% di Brazil. Kematian Amy-Leanne Stringfellow, perempuan berusia 26 tahun yang juga ibu satu anak dan veteran Perang Afghanistan, di tangan pacarnya menghenyakkan Inggris pada akhir tahun lalu.
UN Women juga mencatat bahwa 137 perempuan meninggal di tangan anggota keluarganya sendiri setiap hari. Hanya kurang dari 40% perempuan korban KDRT yang mencari pertolongan, baik dengan bercerita pada teman atau anggota keluarga lain, atau menelepon panggilan darurat, polisi atau layanan kesehatan.
Meskipun demikian ada catatan positif, bahwa 155 negara sudah meloloskan undang-undang dengan kekerasan dalam rumah tangga dan 140 negara diantaranya bahkan memiliki undang-undang tentang pelecehan seksual di tempat kerja. Meski menjadi landasan hukum yang kuat, lagi-lagi tidak semua kasus bisa diadili di muka hukum karena kurangnya bukti dan saksi mata. [em/lt]