Tidak pernah terbersit sedikitpun di benak Indah Permatasari bahwa Denis, anaknya yang pada akhir 2021 lalu baru berumur sekitar 6 tahun menyimpan penyakit dalam tubuhnya. Seperti kebanyakan anak lain, Denis gemar bermain bola di kampung mereka, di Kolaka, Sulawesi Tenggara.
“Awalnya saya belum tahu, cuma ini saya punya anak jatuh. Sempat jatuh main bola. Tapi namanya anak-anak main bola ya, kita bilang keseleo saja. Terus saya bawa urut, segala macam,” ujar Indah mengawali ceritanya kepada VOA.
Sekitar November 2021, ketika Indah dan Denis berada di Sulawesi Selatan untuk sebuah acara keluarga, kondisi Denis makin parah.
“Dia muntah darah sama mimisan, bau sekali muntah darahnya. Warna hitam,” ujar Indah.
Dokter di rumah sakit Maros yang memeriksa Denis mencurigai kemungkinan kanker darah menyerang anak itu. Rujukan pun diberikan dan Denis dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Wahidin Sudirohusodo di Makassar. Di sanalah anak itu pertama kali menerima tranfusi darah HB 5 kantong dan trombosit 26 kantong.
Indah tidak mungkin membawa Denis pulang ke Kolak karena tidak ada dokter dan rumah sakit yang bisa merawatnya di sana. Makassar menjadi pilihan satu-satunya, sebab di kota inilah ada dokter spesialis kanker anak. Karena itulah, dalam dua tahun terakhir dia tinggal di sebuah rumah bercat putih, di Jalan Perintis Kemerdekaan, yang disediakan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) Makassar.
“Kalau di Kolaka tidak ada tempat merawat, karena masih provinsi baru. Sangat berat kalau di sana, kalau seumpama dia demam dan butuh tranfusi kurang darah, ujungnya dirujuk ke Wahidin. Apalagi, saya punya anak itu darahnya AB plus, susah mencarinya. Jadi YKAKI sangat menolong saya,” papar Indah.
Rumah Singgah Penting
Kolaka dan Makassar memang sama-sama berada di Pulau Sulawesi, tetapi keduanya terpisah Selat Bone. Pasien kanker membutuhkan proses perawatan panjang sehingga tidak mungkin bagi Indah membawa Denis bolak-balik kedua wilayah itu. Satu-satunya pilihan adalah tinggal di Makassar. Menyewa kamar atau rumah tentu tidak murah. Karena itulah, kehadiran YKAKI yang menyediakan rumah singgah di Makassar adalah berkah besar bagi keluarga-keluarga yang bernasib seperti Indah.
Nurul Hijriati, Ketua YKAKI cabang Makassar kepada VOA mengatakan rumah singgah itu mereka sediakan sejak 2017.
“Ini khusus untuk anak. Jadi pasien usia anak dari nol tahun sampai 17 tahun, pokoknya usia sekolah sampai kelas 3 SMA,” jelasnya.
Pekan ini, ada 18 keluarga yang tinggal di rumah singgah YKAKI Makassar. Mereka datang dari pulau-pulau kawasan timur, mulai Papua, Ambon, dan Sulawesi sendiri. Di kesempatan berbeda, pasien juga datang dari Kalimantan dan Nusa Tenggara. Praktis, rumah singgah ini menjadi tumpuan masyarakat wilayah timur Indonesia.
“Kita beroperasi seratus persen dari donatur,” tambah Nurul.
Untungnya, banyak komunitas, lembaga hingga perusahaan di Makassar dan sekitarnya yang peduli. Donasi selalu saja datang sehingga operasional rumah singgah ini berjalan lancar.
“Kita sediakan semuanya, tempat untuk tidur, teh kopi untuk orang tua anak. Mereka juga bisa memasak sendiri disini,” kata Nurul lagi.
Cita-cita terbesar YKAKI Makassar saat ini adalah memiliki bangunan milik sendiri yang mampu menampung lebih banyak keluarga pasien. Selama ini mereka masih harus menyewa.
Kekurangan Dokter Spesialis
Kisah banyak orang tua dari wilayah timur Indonesia yang harus menempuh ribuan kilometer untuk merawat anak dengan kanker di Makassar adalah konsekuensi terbatasnya dokter dan fasilitas perawatan.
Dunia memperingati Hari Kanker Anak setiap 15 Februari, dan persoalan akses layanan bagi anak dengan kanker ini menjadi perhatian serius di Indonesia. Tahun ini, WHO menetapkan tema peringatan hari kanker se dunia 4 Februari 2023 adalah Close the Care Gap, tema yang sama pentingnya dalam penanganan kanker anak.
Dalam diskusi memperingati hari kanker sedunia, Dr dr Teny Tjitra Sari Sp A (K) MPH dari Ikatan Dokter Anak Indonesia menggambarkan betapa timpangnya sebaran dokter hemato-onkologi anak di Indonesia.
“Kalau dibandingkan luasnya Indonesia, kami memang baru banyak di daerah barat ya. Tengah pun sedikit, apalagi daerah timur yang tidak punya,” kata Teny.
Dalam sebaran yang dipaparkan Teny, Papua, Maluku dan kawasan Nusa Tenggara Timur sama sekali tidak memiliki dokter hemato-onkologi anak.
Hematologi-onkologi adalah gabungan dari hematologi atau studi tentang fisiologi darah dan onkologi medik, yang merupakan studi tentang pengobatan kanker seperti kemoterapi, target terapi, hormonal terapi dan imunoterapi.
Papua dan Nusa Tenggara baru akan memiliki dokter spesialis untuk anak-anak kanker ini, secepatnya dalam dua tahun mendatang.
“Baru dua dokter yang saat ini sedang belajar dan rencana belajar. Dari Papua ada satu yang rencana akan belajar, dan dari Nusa Tenggara Barat yang sedang belajar,” tambah Teny.
Namun, bukan hanya di Indonesia timur, provinsi seperti Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara juga tidak memiliki satupun dokter spesialis hemato-onkologi anak. Makassar dan Manado adalah kota paling timur di Indonesia yang memiliki layanan dokter tersebut.
“Jadi bisa dibayangkan, bagaimana dokternya pun terbatas, apalagi fasilitas diagnosis dan untuk terapinya,” kata Teny lagi.
Sebagai gambaran, Indonesia memiliki 273,88 juta penduduk dengan jumlah anak mencapai 90,5 juta. Untuk hemato-onkologi anak, jumlah konsultan yang ada hanya 62, dan non konsultan 44 orang. Secara total hanya ada 106 dokter spesialis, tersebar di 25 provinsi dan mayoritas hanya ada di Jawa, Bali dan Sumatra. Indonesia kini memiliki 38 provinsi, dengan demikian ada 13 provinsi tanpa satupun dokter spesialis untuk kanker anak.
Menurut WHO, setiap hari ada seribu anak yang didiagnosa kanker, dengan total ada 300 ribu hingga 400 ribu anak di dunia menderita kanker. Di Indonesia, anak dengan kanker hanya sekitar 7 persen dari jumlah total kasus pada orang dewasa. Sayangnya, biasanya mereka datang ke layanan kesehatan pada stadium lanjut.
Leukemia atau kanker darah merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada anak, diikuti kanker kelenjar getah bening, tumor otak dan nasofaring. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia menyebut, pada 2022 ada sekurangnya dua ribu anak Indonesia berada dalam perawatan kanker di 12 rumah sakit.
“Baru dua ribu anak yang terdata, yang mendapatkan perawatan ataupun yang datang ke rumah sakit pusat kanker anak,” kata Leny.
Data prevalensi kanker anak 2016-2020 menunjukkan jumlah anak penderita kanker darah mencapai 13.343. Diikuti kemudian oleh tumor otak 1.740 kasus, limfoma non-hodgkin 1.633 kasus, tumor ginjal 1.183, karsinoma nasofaring 641 kasus dan limfoma hodgkin 346 kasus.
Tekankan Deteksi Dini
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi memperingati Hari Kanker Anak Internasional 2023 menyebut pekerjaan rumah ada pada deteksi dini.
"Yang paling penting adalah deteksi dini, bukan pengobatan. Promotif-preventif, bukan kuratif,” kata Budi Gunadi, Rabu (15/2).
Indonesia belajar banyak dari kurangnya deteksi dini ini. Angka kesembuhan, misalnya, hanya tercatat sekitar 30 persen, jauh di bawah rata-rata kesembuhan kanker anak di negara maju yang 70 persen.
Deteksi yang terlambat membuat penanganan lebih sulit, tingkat kesembuhan lebih rendah, dan biaya pengobatan jauh lebih mahal.
Data Kementerian Kesehatan menyebut, setiap tahun muncul 389 ribu kasus kanker dengan sekurangnya 3 persen adalah kasus kanker anak atau sekitar 11 ribu kasus.
“Tapi, diprediksi angkanya jauh lebih banyak dari ini,” tambah Budi. [ns/ab]
Forum