Tautan-tautan Akses

Menggugat Kebebasan Akademik di Kampus (Merdeka)


Mahasiswa di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada 16 Juli 2021, sebagai ilustrasi. Sejumlah akademisi merasa belum memiliki kebebasan akademik.(Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)
Mahasiswa di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada 16 Juli 2021, sebagai ilustrasi. Sejumlah akademisi merasa belum memiliki kebebasan akademik.(Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

Kampus Merdeka adalah program unggulan Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim. Ada empat poin utama dalam program ini, yang memperkuat otonomi kampus dan memperluas kesempatan belajar mahasiswa. Namun, jangankan merdeka dan otonom, sejumlah akademisi merasa belum sepenuhnya memiliki kebebasan akademik.

Kasus yang menimpa Dr Basuki Wasis, dosen kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bisa menjadi gambaran rendahnya kebebasan akademik. Pada 2018, Basuki diminta menjadi saksi ahli oleh KPK, dalam persidangan yang menyeret Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Basuki diminta menghitung kerugian lingkungan hidup oleh tindak korupsi itu. Uniknya, kesaksian Basuki di pengadilan yang berupa hasil perhitungan secara ilmiah, justru melahirkan gugatan kepadanya di pengadilan Cibinong.

Belajar dari kasus itulah, Basuki semakin yakin bahwa kebebasan akademik di Indonesia masih butuh perjuangan.

Dr Basuki Wasis, dosen kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dr Basuki Wasis, dosen kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

“Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai, melindungi dan memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik. Harus dilindungi, jangan pakai hukum, seperti kasus saya itu,” ujar Basuki.

Basuki berbicara dalam diskusi upaya pelaporan ke PBB terkait kondisi kebebasan akademik di Indonesia, yang diselenggarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Rabu (18/5).

Sejumlah akademisi merasa belum memiliki kebebasan akademik. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Sejumlah akademisi merasa belum memiliki kebebasan akademik. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

KIKA adalah lembaga para peneliti dan akademisi yang peduli dengan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, terutama yang terkait dengan kebebasan akademik. Diinisiasi pada 6 Desember 2017, KIKA secara resmi menjadi organisasi yang lebih terkonsolidasi pada 2018.

Laporan Kebebasan Akademik ke PBB

Pada November 2022 nanti, PBB akan menerima Universal Periodic Review (UPR), sebuah mekanisme peninjauan praktik pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). KIKA bekerja sama dengan lembaga Scholar at Risk (SAR), turut mengirimkan laporan ke PBB, terutama terkait praktik kebebasan akademik di Indonesia.

Ketua KIKA sekaligus akademisi Universitas Brawijaya, Malang, Dhia Al Uyun.
Ketua KIKA sekaligus akademisi Universitas Brawijaya, Malang, Dhia Al Uyun.

Ketua KIKA, Dhia Al Uyun, menyebut represi bagi akademisi dan mahasiswa jelas mengancam kebebasan akademik dan perkembangan pendidikan tinggi Indonesia di masa mendatang, dan karena itulah laporan ke PBB penting dibuat.

Dalam pengajuan laporan ke UPR PBB, KIKA dan SAR menyoroti tekanan luas dan tindakan yang ditargetkan oleh aktor negara dan universitas yang menghukum dan membungkam kebebasan berpendapat, penyelidikan, dan ekspresi akademis sejak Maret 2017.

“KIKA dan SAR mendesak negara-negara anggota PBB meminta Indonesia menahan diri dari pengunaan kekerasan atau tindakan hukum yang dimaksudkan untuk membatasi atau menghukum dosen dan mahasiswa dalam pelaksanaan kebebasan akademik dan hak terkait,” ujar Dhia.

Indonesia juga didesak membentuk ombudsman yang bertugas menerima dan menanggapi masalah kebebasan akademik di masing-masing instansi perguruan tinggi.

“Kita juga mendesak penguatan otonomi universitas, mengurangi resiko korupsi, karena kita melihat banyak korupsi terjadi lingkungan universitas, serta menghilangkan 35 persen suara menteri dalam pemilihan rektor,” tambah Dhia yang juga dosen di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

KIKA dan SAR, kata Dhia, berkomitmen menjaga, melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, otonomi universitas dan hak-hak fundamental bagi civitas akademika. Upaya ini penting untuk menjaga kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, dan juga kebebasan akademik itu sendiri.

Mahasiswa duduk terpisah untuk menjaga jarak sosial di tengah kekhawatiran COVID-19, sebelum mengikuti ujian perguruan tinggi di Banda Aceh pada 5 Juli 2020. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)
Mahasiswa duduk terpisah untuk menjaga jarak sosial di tengah kekhawatiran COVID-19, sebelum mengikuti ujian perguruan tinggi di Banda Aceh pada 5 Juli 2020. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

UU ITE Menjadi Ancaman

Dalam penyataan resmi yang disampaikan Herdiansyah Hamzah, KIKA juga meminta dilakukannya revisi terhadap UU ITE dan UU 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Revisi perlu agar kedua produk hukum itu sesuai dengan standar hukum nasional dan internasional, serta jaminan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi. Termasuk di dalamnya, memperjelas bahasa yang menyebabkan interpretasi terlalu luas, atau penerapan yang salah dari UU ini.

“Para akademisi mendapatkan serangan penuntutan hukum baik secara pidana maupun perdata, termasuk di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kita tahu sama-sama kontroversial, untuk ekspresi kritis terhadap pemerintah, menjadi saksi ahli dalam proses persidangan, dan berbicara tentang temuan hasil riset di ruang publik,” kata Herdiansyah.

Di sisi lain, mahasiswa juga sering menghadapi penangkapan dan kekerasan polisi karena memprotes ketidakadilan dan mengutuk korupsi. Mereka juga menerima tindakan pendisiplinan oleh universitas karena pemikiran yang dinilai kontroversial.

Insiden-insiden semacam ini, lanjut Herdiansyah, menimbulkan kekhawatiran serius atas kebebasan akademik siswa dan hak kebebasan berekspresi.

Laporan kepada PBB juga didasari telaah kritis atas UU Sistem Nasional Iptek yang diundangkan pada 2019.

“Bagi banyak akademisi, UU ini menimbulkan kekhawatiran atas ruang yang menyusut untuk penelitian yang diizinkan, dan pertukaran aktivitas akademik secara internasional,” tandas Herdiansyah, dosen hukum di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.

Menggugat Kebebasan Akademik di Kampus (Merdeka)
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:44 0:00

Laporan Pertama ke PBB

Para akademisi juga melihat, kebebasan akademik di Indonesia justru menurun. Menurut Academic Freedom Index (AFI), skor Indonesia turun dari 0,75 pada 2000 menjadi 0,65 (dari 1,00) pada 2021. Turunnya jaminan kebebasan akademik menimbulkan keprihatinan serius bagi masa depan pendidikan tinggi Indonesia.

Daniel Munier, Senior Advocacy Officer lembaga SAR. (Foto: VOA)
Daniel Munier, Senior Advocacy Officer lembaga SAR. (Foto: VOA)

"Akademisi dan mahasiswa memainkan peran penting dalam masyarakat sipil Indonesia yang dinamis, terutama mempromosikan keadilan sosial dan hak asasi manusia untuk secara terbuka membahas korupsi pemerintah dan masalah lingkungan,” papar Daniel Munier, Senior Advocacy Officer di SAR dalam keterangannya.

Direktur YLBHI, Muhammad Isnur, dalam forum diskusi ini mengatakan selama ini masyarakat sipil di Indonesia rutin mengirimkan laporan ke forum PBB tersebut. Isu-isu yang dilaporkan antara lain adalah kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan bekekspresi, isu lingkungan, pembela HAM dan sejenisnya.

“Jadi ini, menarik karena isu akademik menjadi yang pertama kita laporkan. Mudah-mudahan catatan atau laporan dari KIKA dan SAR masuk ke rekomendasi tahun 2022 ini,” kata Isnur. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG