Penunjukan dua perwira tinggi Polri untuk mengisi dua jabatan pelaksana tugas (Plt) gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuai kontroversi, baik dari kalangan pemerintah sendiri maupun dari DPR.
Menteri Pertahanan Ryamirzard Ryacudu di gedung DPR, Selasa (30/1) mengatakan tidak ingin perwira aktif TNI menjadi pelaksana tugas Gubernur seperti halnya dua jenderal polisi yang bakal ditunjuk Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelang Pilkada 2018.
"Dikawal aja. Saya juga enggak suka kayak gitu. Jangan macam-macam. Saya dari dulu enggak suka kayak gitu," kata Menhan RI.
Khusus TNI, Ryamizard memastikan netralitas TNI dalam politik tetap terjaga. "Oh, harus (TNI tetap menjaga netralitas). Kalau netralitas TNI terjaga, tidak akan muncul masalah," serunya.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjelaskan undang-undang sudah mengatur dengan jelas TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
"Saya tetap pada pendirian sesuai dengan konstitusi. Konstitusi TNI UU 34 tahun 2004. Di situ sudah diatur bahwa TNI harus netral. Saya tetap pada konstitusi saya," jelas Panglima TNI.
Terkait netralitas TNI, Hadi Tjahjanto menegaskan dirinya telah menyampaikan masalah ini kepada Mendagri. Hadi meyakini Kapolri Jenderal Tito karnavian pun berpendapat yang sama seputar netralitas prajurit Polri dan TNI.
"Saya sampaikan (kepada Mendagri) bahwa saya punya konstitusi. Saya berpegang pada konstitusinya TNI bahwa netralitas adalah segala-galanya. Dalam Rapim TNI Polri pun, saya dengan pak Tito sama pendiriannya dengan saya bahwa netralitas itu adalah harga mati. Kembali pada konstitusi itu," imbuhnya.
Dalam kesempatan terpisah Wakil Ketua DPR Fadli Zon menuding Mendagri Tjahyo Kumolo salah mengambil kebijakan terkait penunjukan Pejabat Pelaksana Tugas Gubernur menjelang pelaksanaan Pilkada 2018.
"Menurut saya, kesalahan itu ada di Pemerintah, ya!. Kita berharap komitmen Polri itu dan komitmen Polri sendiri kan ingin menjadi institusi yang netral di dalam Pilkada. Profesional begitu ya. Tapi dengan menarik-narik Polri ke dalam Pilkada, ini merugikan Polri. Dan usul dari Mendagri ini harus dihentikan," imbau Fadli Zon.
Fadli menyarankan kepada Mendagri agar menunjuk pejabat di lingkungan Kementeriaan Dalam Negeri untuk posisi Plt Gubernur.
"Ya, karena ini menimbulkan berbagai spekulasi kecurigaan, ditambah lagi dengan upaya-upaya yang dianggap menimbulkan Pilkada curang. Karena alasannya itu juga tidak jelas. Saya kira masih banyak pejabat tinggi madya yang sejajar dan tidak menimbulkan kontroversi," jelasnya.
Fadli memprediksi jika hal ini diteruskan maka akan menimbulkan kecurigaan dari semua kalangan, baik itu masyarakat maupun partai dan kandidat peserta Pilkada 2018.
"Dengan memaksakan itu dari Mendagri, menurut saya ini akan menimbulkan distrust. Ketidakpercayaan masyarakat kepada Pilkada. Dan kepercayaan dari partai-partai peserta maupun dari para kandidat sendiri. Kalau urusannya kerawanan, itu bukan urusan Plt Gubernur. Itu urusan kepolisian yang harus menjamin adanya keamanan," lanjut Fadli Zon.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk dua perwira tinggi Polri untuk mengisi dua jabatan pelaksana tugas gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Tjahjo Kumolo berpegang pada Undang-Undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Bahwa, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi atau madya. Kemudian, dia juga mengacu kepada Peraturan Menteri nomor 1 tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara. Ryamizard mengatakan netralitas TNI tidak perlu diragukan lagi.
Dua jenderal aktif Polri yakni Asops (asisten operasi) Kapolri, Inspektur Jenderal Iriawan ditunjuk sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin sebagai penjabat Gubernur Sumatera Utara. [aw/uh]