Pemimpin pihak ekstrem kanan Perancis, Marine Le Pen, yang bersikap anti-imigran dan antiglobalisasi, dan partai yang dipimpinnya Reli Nasional, sejak lama tampil di lansekap politik Perancis. Setiap kali berkinerja kuat dalam pemilihan, tetapi tidak sampai meraih kepemimpinan negara.
Marine Le Pen bisa berbicara tentang feminisme dan persatuan politik. Dia berkomitmen untuk melindungi lingkungan, serta mendukung reformasi Uni Eropa dan mata uang Euro, serta tidak mau meninggalkan kesatuan itu.
Akhir-akhir ini, Perancis menyaksikan Le Pen yang lebih ramah, sampai-sampai Menteri Dalam Negeri Perancis Gerald Darmanin yang bersikap garis keras, mengejek Le Pen dan menyebutnya “lunak” terhadap Islam radikal.
Kemarahan dan kadang-kadang pemberontakan semakin besar sehubungan penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah Perancis yang sentris. Juga, ketidakpuasan pemilih dan pertanyaan apakah sebuah front untuk memerangi ekstremisme yang eksis dua dasawarsa yang lalu masih bertahan saat ini.
Apakah berbagai faktor ini akhirnya bisa membawa Le Pen ke kursi kepresidenan pada 2022, ketika pemilihan presiden berlangsung?
Banyak kalangan di Perancis berpendapat demikian. Temuan dari survei baru yang diumumkan oleh BFM TV menunjukkan hampir setengah dari responden berpendapat Le Pen akan memenangkan pemilihan berikutnya. Jajak pendapat lain menunjukkan Le Pen mampu meraih 47 hingga 48 persen dari total suara. Angka itu jauh di atas skor 34 persen yang diraih Le Pen dalam pemilihan pada 2017 melawan Emmanuel Macron.
“Semakin lunak citra Marine Le Pen, semakin banyak dia bicara tema keterbukaan dan modernitas, ada peluang pemilih akan tertarik ke dirinya dalam jangka pendeknya,” kata Christele Lagier, seorang pakar ekstrem kanan dari Universitas Avignon di Perancis selatan.
“Juga, Marine Le Pen sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam politik, jadi dia sudah menjadi wajah yang akrab, dan tidak begitu mengancam.”
Namun, hasil jajak pendapat saat ini belum tentu akan memproyeksikan realitasnya pada masa depan. Le Pen dan partainya masih menghadapi hambatan cukup besar, kata Lagier dan para analis lain, mulai dari kurangnya kompetensi mereka dalam isu ekonomi, sampai isolasi politik mereka, sehingga sulit membina persekutuan yang perlu untuk memenangkan pemilihan. [jm/ka]