Banyak pendidik dan petugas penerimaan mahasiswa mempertanyakan apakah penerimaan mahasiswa berdasarkan koneksi harus diakhiri. Yang lainnya mengatakan cara penerimaan itu membantu mengumpulkan dana yang bisa digunakan untuk mahasiswa yang membutuhkan bantuan keuangan.
Di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, penerimaan mahasiswa karena koneksi, baru-baru ini diakhiri. Rektor JHU Ronald J. Daniels mengatakan banyak lulusan John Hopkins sudah memiliki keunggulan sosial dan pendidikan.
Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan Institut Teknologi California belum pernah menerapkan penerimaan mahasiswa karena koneksi, demikian menurut kolom yang ditulis oleh Daniels untuk The Atlantic.
University of California, Berkeley mengakhiri cara penerimaan ini pada 1990-an, kata Daniels. Universitas dengan peringkat tinggi lainnya yang menghentikan penerimaan mahasiswa karena koneksi termasuk Universitas Oxford dan Universitas Cambridge di Inggris.
Tetapi sebagian besar perguruan tinggi dan universitas meneruskan praktek ini. Sebuah survei yang dilakukan oleh Inside Higher Education mendapati sekitar 42% petugas penerimaan di perguruan tinggi swasta dan universitas mengatakan penerimaan berdasarkan koneksi tetap menjadi faktor dalam penerimaan.
Di perguruan tinggi negeri, hanya 6% yang melaporkan menggunakan koneksi sebagai faktor penerimaan.
Universitas yang mengizinkan penerimaan berdasarkan koneksi mengatakan, mereka mengumpulkan lebih banyak dana jika mempertimbangkan anak-anak para alumni, sebagaimana dilaporkan The Washington Post.
Dana tersebut pada akhirnya akan digunakan untuk membantu mahasiswa lain yang tidak mampu membayar uang kuliah. Universitas John Hopkins melaporkan penghapusan penerimaan mahasiswa berdasarkan koneksi menghasilkan badan mahasiswa yang lebih beragam dengan kemampuan akademik yang tinggi, namun membutuhkan lebih banyak bantuan keuangan.
Selain itu, mahasiswa yang orang tuanya mengenyam pendidikan perguruan tinggi, lebih besar kemungkinannya akan menyelesaikan gelar sarjana daripada mahasiswa yang orang tuanya tidak pernah kuliah.
Pada tahun 2014, Kelompok Kepentingan Mahasiswa untuk Penerimaan yang Adil (SFFA) melayangkan gugatan hukum terhadap Universitas Harvard. Mereka mengatakan warga Amerika keturunan Asia tidak dievaluasi secara adil. SSFA mengatakan Harvard condong menerima mahasiswa kulit hitam dan hispanik dengan nilai lebih rendah.
Di pengadilan, seorang dekan Universitas Harvard mengatakan penting bagi kampusnya untuk mengutamakan anak-anak alumni agar mahasiswa "yang lebih banyak pengalaman dengan Harvard" berbaur dengan "mahasiswa lainnya yang tidak terlampau mengenal Harvard."
Menyatukan kelompok-kelompok siswa yang berbeda ini, lanjutnya, akan menjadikan "mereka warga negara dan pemimpin warga yang lebih efektif bagi masyarakat."
Seorang hakim federal setuju, dan pada 2019 memutuskan kebijakan penerimaan mahasiswa tidak mendiskriminasi mahasiswa Asia-Amerika.
Ketika SSFA mengatakan pihaknya mengajukan banding atas keputusan tersebut, organisasi dan pendirinya, Edward J. Blum, dikecam karena menggunakan strategi pengadilan ini untuk menghapuskan tindakan afirmatif. Blum dan SSFA tidak berhasil menggugat universitas lain atas klaim tindakan afirmatif serupa.
Para pengguna media sosial Twitterverse sangat mendukung penghapusan penerimaan mahasiswa karena koneksi di perguruan tinggi dan universitas AS.
"Sangat bangga @JohnsHopkins baru saja menghentikan penerimaan mahasiswa kerana koneksi," tulis Yascha Mounk, asisten profesor di JHU School of Advanced Studies. Cuitan tersebut diposting kembali sebanyak 274 dan disukai 1.300 orang.
"Seperti pendapat (Presiden JHU) Ron Daniels, ini diperlukan jika universitas-universitas Amerika ingin memenuhi janji demokrasi mereka untuk menjadi tangga mobilitas bagi semua," kata Mounk. [my/lt]