Tautan-tautan Akses

Menjaga Demokrasi, Agar Indonesia Tak Seperti Turki


Seorang pria mempersiapkan bendera raksasa sebelum mengibarkannya pada perayaan hari kemerdekaan di Universitas Kristen Petra di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)
Seorang pria mempersiapkan bendera raksasa sebelum mengibarkannya pada perayaan hari kemerdekaan di Universitas Kristen Petra di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)

Indonesia dan Turki bisa menjadi contoh menonjol dalam implementasi demokrasi di negara dengan penduduk mayoritas muslim. Namun, menurut sejumlah pakar, belakangan Turki seperti berbelok ke arah yang keliru. Mereka berpendapat, Indonesia harus belajar agar tidak menapaki jalan serupa.

Ketika muncul sebagai pemimpin Turki pada 2002, Recep Tayyip Erdogan dianggap menjadi perwujudan harapan demokrasi bagi negara itu. Namun seiring popularitasnya yang meningkat, Erdogan kemudian mengambil kebijakan-kebijakan, yang tidak sejalan dengan arah demokrasi itu sendiri. Indonesia sebenarnya memiliki tantangan yang sama, kata peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr Nostalgiawan Wahyudi.

Dr Nostalgiawan Wahyudhi. (Foto: Dok Pribadi)
Dr Nostalgiawan Wahyudhi. (Foto: Dok Pribadi)

“Kita bisa melihat bahwa ada pekerjaan rumah yang belum selesai, baik di Turki ataupun Indonesia. Kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul mendapat tekanan. Dan regresi demokrasi di dua negara ini, cenderung terjadi dari atas, yang dilakukan oleh institusi negara,” kata Nostalgiawan, dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Riset Politik BRIN, Rabu (2/2).

Dia juga mengatakan, Indonesia mengalami gejala yang mirip dengan Turki dalam lima tahun terakhir, di mana terjadi penurunan dalam indeks demokrasi.

Seniman Solo aksi mural menggambar wajah Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin di dinding kampung Gremet Manahan Solo
Seniman Solo aksi mural menggambar wajah Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin di dinding kampung Gremet Manahan Solo

Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) skor indeks demokrasi Indonesia memang terus menurun di era pemerintahan Joko Widodo. Tahun 2020, Indonesia hanya mencatatkan angka 6,3 dalam indeks tersebut, yang merupakan capaian terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2015, Indonesia berada di angka 7,03, lalu turun ke 6,97 pada 2016, turun kembali ke 6,39 pada 2017 dan 2018. Sempat ada perbaikan pada 2019 dengan 6,48 pada 2019, tetapi kemudian anjlok lagi pada 2020. Indonesia bahkan berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina

Belajar dari Turki

Nostalgiawan mencatat, sejak 2014 kontestasi politik Indonesia cenderung mengarah pada politik bipolar, yang meruncing dalam dua kubu politik besar. Pada tahun-tahun tanpa Pemilu, seolah kondisi itu hilang, tetapi akan kembali dominan pada tahun politik. Dia juga mengatakan, pada 2020 terjadi penurunan signifikan terkait kebebasan sipil, pluralisme, pengelolaan pemerintahan dan kebebasan berpendapat.

“Artikulasi politik, terutama dari kelompok oposisi, mendapatkan tekanan dan kekangan yang kuat dari pemerintah. Kita bisa melihat, bahwa ruang bagi oposisi untuk melakukan kritik, memberikan masukan, berpartisipasi dalam ruang publik, mendapat intimidasi dan penghalauan, kriminalisasi dan tuduhan makar,” tambah Nostalgiawan.

Posisi pemerintah berkuasa yang ofensif ini, lanjut dia, memunculkan narasi bahwa pemerintah terlalu berpihak, anti kritik dan tidak demokratis.

Sejarah Turki sebenarnya bisa menjadi bahan renungan bagi Indonesia. Ketika Erdogan muncul, dia dianggap sebagai pembaharu. Dia meletakkan supremasi sipil, dengan memposisikan militer di bawah Kementerian Pertahanan dan polisi dibawah Kementerian Dalam Negeri. Namun seiring waktu, Erdogan mengambil kebijakan yang membawa Turki ke arah tidak demokratis.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. (Foto: Türkiye Cumhuriyeti Cumhurbaşkanlığı)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. (Foto: Türkiye Cumhuriyeti Cumhurbaşkanlığı)

“Popularitas Erdogan menurun setelah perpecahan dengan kelompok Gulen, dan melakukan perubahan konstitusi dan sistem politik Turki tahun 2017, melalui referendum. Dari sistem parlementer menuju presidensiil. Dalam hampir 20 tahun kekuasaannya, Erdogan mengambil langkah-langkah yang kontraproduktif dengan demokrasi,” lanjut Nostalgiawan.

Turki kemudian beralih menjadi negara dengan iklim politik yang semakin tidak kompetitif. Perubahan konstitusi memberikan kekuasan lebih besar pada presiden, tetapi hanya menekankan pada ketokohan tunggal Erdogan sendiri.

Erdogan gagal melakukan regenerasi politik dan justru mengangkat menantunya sendiri sebagai Menteri Keuangan. Dia juga menerapkan politik represif terhadap oposisi pada 2016 dan membatasi kebebasan akademik seperti penutupan kampus-kampus yang menentangnya dan menangkap akademisi yang kritis.

Belum Membaik di 2022

Prof Firman Noor. (Foto: Dok Pribadi)
Prof Firman Noor. (Foto: Dok Pribadi)

Peneliti politik Indonesia dari BRIN, Prof Firman Noor, melihat tahun ini belum akan terjadi perbaikan dalam iklim politik Indonesia.

“Secara umum di 2022 tidak bisa berharap banyak. Perbaikan demokrasi belum beranjak naik signifikan. Kita jelas akan memiliki solid government, pemerintahan yang kuat didukung oleh hampir semua elemen sumber-sumber kekuasaan yang dibutuhkan oleh sebuah pemerintahan, tapi kita lihat kondisi demokrasinya cenderung stagnan,” kata Firman.

Firman juga menegaksan, Indonesia tahun ini masih cenderung mengalami pelemahan atau stagnasi demokrasi.

“Secara prosedur mungkin baik, tetapi secara substansi, situasinya seperti yang terbaca dalam beberapa data statistik,” lanjutnya.

Data statistik yang disebut Firman,antara lain adalah indeks demokrasi Indonesia, yang terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir.

Firman juga menguraikan secara umum, tendensi atau kencenderungan politik pada 2022. Potensi-potensi partisipasi politik akan tetap lemah, kata dia, dan akan ada tendensi elitisme yang terus berlanjut. Apalagi situasi hubungan eksekutif dan legislatif yang begitu dekat, sudah dapat dilihat bersama.

“Ada serial kebijakan kontroversial mulai UU KPK 2019, omnibus law di tahun 2020, kemudian seterusnya dan IKN, juga kelihatannya akan menjadi satu tendensi elitisme di situ,” tambahnya.

Pendukung calon presiden Prabowo Subianto membawa spanduk dalam unjuk rasa dekat gedung Mahkamah Konstitusi menjelang sidang putusan pilpres 2019, 27 Juni 2019. (Foto: AP)
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto membawa spanduk dalam unjuk rasa dekat gedung Mahkamah Konstitusi menjelang sidang putusan pilpres 2019, 27 Juni 2019. (Foto: AP)

Stabilitas politik ini tahun ini dan ke depan sangat dibutuhkan oleh partai-partai politik. Tujuannya agar mereka nyaman beraktivitas menjelang proses pendaftaran untuk Pemilu 2024, yang akan dilakukan Agustus tahun ini. Stabiltas politk akan sangat dijaga karena seluruh partai berkepentingan menuju Pemilu 2024.

Namun di akar rumput akan terus diwarnai situasi saling berbalas pantun, antara pihak pro pemerintah dan mereka yang kritisi. Sayangnya, perdebatan itu lebih banyak diisi oleh isu-isu di luar politik, seperti ujaran kebencian dan toleransi.

“Belum menguik-ulik mengenai eksistensi oligarki. Sejauh perdebatan itu masih seputar isu nonoligarkis, maka yang paling nyaman di situ adalah elemen-elemen oligarki, yang sebetulnya justru adalah virus paling gawat di dalam tubuh demokrasi kita,” tandas Firman.

Publik juga akan diwarnai oleh perbincangan terkait ibukota negara baru dan pengisian penjabat kepala daerah. Selain itu, soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold juga akan memperoleh perhatian besar.

Indonesia, kata Firman, harus tetap berkomitmen pada terhadap demokrasi.

“Kita harus belajar dari banyak negara demokrasi yang sukses. Kerja-kerja dalam bidang ekonomi akan semakin dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak, jika kehidupan demokrasi juga dijaga dengan baik. Kerja sama semua pihak, khususnya elit politik dibutuhkan agar negara kita kembali pada track sebagai negara demokrasi,” kata Firman lagi. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG