Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menduga peningkatan angka positivity rate COVID-19 atau rasio kasus positif di Indonesia, yang mencapai di atas 30 persen, dalam beberapa hari terakhir karena jumlah testing atau pengujian yang berkurang selama libur Imlek.
Penurunan pengujian mengakibatkan jumlah kasus terkonfirmasi positif turun, tetapi angka positivity rate naik. Menurutnya pola seperti ini selalu berulang usai libur panjang, bahkan pada libur akhir pekan, Sabtu dan Minggu.
“Kebetulan empat hari terakhir karena hari libur, banyak juga orang yang tidak di tes sehingga jumlah tesnya turun. Kita lihat ini jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit, dan ini konsisten dengan data yang tadi, bahwa sudah turun relatif selama dua minggu,” ujar Budi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (17/2).
Positivity rate adalah rasio jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dibandingkan dengan jumlah total tes di suatu wilayah. Makin rendah positivity rate juga mengindikasikan makin banyak jumlah orang yang dites dan pelacakan memadai. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), menetapkan standar positivity rate di bawah 5 persen.
Dalam kesempatan ini, Budi membantah bahwa terdapat tren kenaikan kasus positif corona seiring dengan naiknya positivity rate tersebut. Menurutnya, kurva kasus COVID-19 sudah melandai selama dua pekan terakhir. Hal itu, ujarnya terlihat dari hasil pengecekan, baik kasus konfirmasi maupun pasien yang di rawat di rumah sakit, sudah turun sejak dua minggu terakhir.
Meski begitu, banyak pihak meragukan apakah memang laju penularan corona dan jumlah pasien COVID-19 di rumah sakit memang sudah berkurang. Pasalnya, positivity ratenya masih sangat tinggi.
Menjawab hal itu, mantan wakil menteri BUMN mengatakan ada tiga hipotesis untuk menjelaskan tren kenaikan positivity rate. Pertama, ujarnya terkait masalah teknis pendataan. Selama ini hanya data hasil tes PCR yang positif saja yang diinput oleh pihak labolatorium atau rumah sakit ke dalam database karena rumitnya pemakaian aplikasi.
“Oleh karena itu, sekarang kami sudah memperbaiki user interface untuk aplikasi testing, sehingga akan memudahkan semua lab, rumah sakit, faskes untuk memasukkan laporannya. Bisa dengan otomatis atau bisa langsung dengan excel,” terangnya.
Hipotesis selanjutnya, adalah kemungkinan jumlah testing yang kurang sehingga tidak sebanding dengan kasus positif yang ada di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu, dengan penerapan kebijakan PPKM Mikro ini, pihaknya akan meningkatkan testing lewat rapid test swab antigen sehingga lebih cepat untuk melacak kasus positif dengan cakupan tes yang lebih luas.
Ketiga, menurut Budi, banyak labolatorium belum konsisten memasukkan laporannya. Untuk hal ini, Kemenkes akan meningkatkan komunikasi dengan lab Polymerase Chain Reaction (PCR) di seluruh Indonesia untuk memastikan mereka disiplin memasukkan data yang lengkap dan tepat waktu.
“Jadi, jangan ditunda terlampau lama. Dengan demikian kita bisa melihat data positivity rate yang sebenarnya sehingga kita bisa mengambil keputusan kebijakan yang lebih tepat,” jelasnya.
Indikator Awal
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengungkapkan tingkat positivity rate merupakan indikator awal yang paling valid dalam penilaian sebuah pandemi. Oleh karena itu, ia sangsi apakah memang tes positivity rate di Indonesia saat ini tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya seperti yang diklaim oleh pemerintah.
Menurutnya, memahami sebuah data epidemiologi, penyakit serta pola penyakit dalam sebuah wabah membutuhkan kehati-hatian. Keraguan pemerintah ini, ujarnya juga mencerminkan adanya masalah yang serius dalam manajemen pelaporan data, sehingga bukan tidak mungkin akan salah dalam mengambil sebuah kebijakan.
“Yang sekarang terjadi adalah yang sudah dilaporkan ini memang jauh dari sempurna. Tapi jauh dari sempurna saja sudah buruk apalagi sudah diperbaiki,” ujarnya kepada VOA.
Dicky juga yakin bahwa tren penurunan kasus positif corona yang diklaim pemerintah terjadi selama dua minggu terakhir dikarenakan jumlah testing yang masih sangat sedikit.
Selama ini, ujarnya pemerintah tidak mampu untuk melakukan testing yang sesuai dengan skala penduduk Indonesia, yakni satu tes per 1.000 orang per minggu. Artinya, imbuh Dicky, pengujian seharusnya mencapai 200 ribu hingga 300 ribu per hari.
“Ini apa kita pernah melakukan tes seperti itu? kan belum pernah. Bagaimana kita mau mengklaim bahwa ini data salah? Wong, testingnya saja minim. Ya sangat tidak masuk akal, tidak realistis,” jelasnya.
Menanggapi klaim turunnya jumlah pasien COVID-19 di rumah sakit, menurutnya itu harus diteliti lebih lanjut. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan pada 2019 lalu menunjukkan bahwa budaya orang Indonesia untuk mengobati diri sendiri lebih besar dibandingkan berobat ke rumah sakit.
“Saya kira harus terbuka dan transparan pemerintah ini, karena hukum biologi ini berlaku mau bagaimana pun. Mengakui atau tidak ketika situasi tidak dipahami, dengan benar ini akan meledak,” pungkasnya. [gi/ft]