Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memaparkan alasannya mengunjungi Timur Tengah dan Afrika Utara sementara AS berfokus pada invasi Rusia ke Ukraina.
“Ini adalah bagian dunia di mana Amerika Serikat memiliki kepentingan yang vital dan beberapa teman terdekat. Amerika Serikat akan terus berinvestasi di Kawasan ini, memperkuat hubungan yang penting bagi stabilitas di Timur Tengah dan Afrika Utara, membuat kemajuan dalam menghadapi tantangan, memperluas peluang bagi rakyat, dan pada saat yang sama tetap fokus untuk mengakhiri agresi Kremlin,” jelasnya.
Blinken mengunjungi Maroko pada Selasa lalu sekaligus bertemu dengan Putra Mahkota Abu Dhabi. Kepada VOA, seorang pakar mengemukakan ekonomi kawasan Afrika Utara akan sangat rentan terpuruk akibat invasi Rusia.
Brian Katulis, peneliti senior dari Middle East Institute melalui Skype mengemukakan, “Menurut saya antara lain karena Afrika Utara akan menjadi lokasi yang sudah banyak tertekan secara sosial dan ekonomi akibat sebagian kenaikan harga pangan dan energi. Sebagaimana kita ketahui, lebih dari satu dekade yang lalu terjadi demonstrasi yang menyebabkan revolusi dan kerusuhan yang sebagian terkait dengan kenaikan harga komoditas pada waktu itu. Jadi, menurut saya ini adalah suatu upaya pencegahan diplomatik untuk berkoordinasi dan mengetahui apakah kami dapat memberi bantuan.”
Pada pemberhentian pertamanya di Israel, Blinken berupaya meyakinkan sekutu di kawasan bahwa AS berkomitmen untuk tidak mengizinkan Iran memiliki senjata nuklir.
“Amerika Serikat meyakini bahwa kembali ke implementasi penuh dari Rencana Aksi Komprehensif Gabungan merupakan cara terbaik untuk mengembalikan program nuklir Iran pada tempatnya namun lolos (melenceng) sejak Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut,” kata Blinken.
Pemerintahan Biden telah berusaha menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015, yang membatasi program nuklir Teheran dengan imbalan keringanan sejumlah sanksi. Mantan Presiden Trump menarik AS dari kesepakatan itu pada tahun 2018.
Para ahli mengatakan satu masalah yang belum terselesaikan adalah Iran menginginkan paramiliternya, Korps Garda Revolusi Iran, dihapus dari daftar organisasi teroris asing AS. Israel dan sebagian besar anggota Kongres AS dari fraksi Republik menentang langkah itu, sebagaimana dijelaskan oleh Behnam Ben Taleblu, pakar mengenai Iran dari Foundation for Defense of Democracies, melalui Skype.
“Mengingat pemerintahan Biden ‘menjual ini’ sebagai kesepakatan nuklir saja, dan tidak membatasi aparat terorisme Iran, rudal balistik, rudal jelajah, kemampuan drone atau kemampuan tambahan militer asimetris lainnya, dan ancaman lainnya terhadap mitra-mitra atau keamanan AS di wilayah tersebut, tidak masuk akal untuk menawarkan keringanan sanksi non-nuklir dalam kerangka terorisme atau skema rudal balistik. Namun sayangnya, sepertinya itu jalannya, jalur administrasi yang tertunda,” ujar Behnam.
Iran menyatakan kesepakatan untuk kembali menghidupkan kesepakatan nuklir itu sudah dekat, akan tetapi para pejabat AS lebih berhati-hati, dan mengatakan masalah pelik masih ada. [mg/ka]