Situasi di Laut China Selatan kembali tegang setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyampaikan dua pernyataan sengit pekan ini. Dia mengatakan China tidak berhak mengklaim wilayah di Laut China Selatan dan Amerika akan melakukan segala upaya untuk mencegah China menguasai Laut China Selatan.
Menanggapi perkembangan tersebut, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia sangat prihatin terhadap meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan.
"Situasi Laut China Selatan yang stabil dan damai adalah harapan dari setiap negara. Menghormati hukum internasional, termasuk Hukum Laut Internasional 1982, merupakan kunci untuk membuat keadaan di Laut China Selatan stabil dan damai," kata Retno.
Retno menekankan posisi Indonesia di Laut China Selatan sangat jelas dan konsisten. Ditambahkannya bahwa hak Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE) di Laut China Selatan juga sangat jelas dan konsisten, dan hal ini sejalan dengan Hukum Laut Internasional 1982. Sikap Indonesia atas ZEE itu juga didukung oleh putusan mahkamah internasional pada tahun 2016.
Indonesia menegaskan semua negara harus berkontribusi untuk memelihara kestabilan dan perdamaian di Laut China Selatan. Indonesia meminta semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menaikkan ketegangan di kawasan Laut China Selatan.
Pengamat : Indonesia Bisa Jadi Mediator dalam Konflik di Laut China Selatan
Diwawancarai melalui telpon, Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia perlu menyampaikan pada dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
“Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia,” tegas Hikmahanto.
Indonesia harus mempunyai perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar, tambahnya.
Hikmahanto menegaskan China seharusnya tidak menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah. Disisi lain, ujarnya, “Amerika juga tidak sepatutnya menggunakan kekerasan karena berada di luar kawasan. Jangan sampai Laut China Selatan menjadi medan pertempuran Amerika.”
Hikmahanto juga mengatakan Indonesia harus menyampaikan kesediaan untuk menjadi juru damai yang tidak memiliki kepentingan. “Indonesia pantas menjadi mediator karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik dengan China dan Amerika,” paparnya.
Lebih jauh Rektor Universitas Achmad Yani itu mengatakan Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.
“Bila China memanfaatkan pandemi ini,” lanjut Hikmahanto, “maka China tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan Amerika dan sekutunya.”
Sedikitnya Enam Negara Saling Klaim di Laut China Selatan
Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.
Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan setiap tahun mencapai US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.
Sejak tahun 2013 China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan ini memicu kecaman internasional. Sejak tahun 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan. [fw/em]