Ketegangan baru muncul di kawasan Laut Cina Selatan setelah Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo Senin lalu (13/7) menyampaikan bahwa berdasarkan berbagai pertimbangan baru, seluruh klaim China di kawasan yang disengketakan itu tidak sah.
Sehari kemudian China membalas pernyataan itu dengan menuding Amerika memperburuk keadaan dan memicu perselisihan dengan China dan negara-negara lain yang memperebutkan kawasan itu.
Pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia memonitor dengan seksama perkembangan yang berpotensi menimbulkan ketegangan baru di kawasan laut Cina Selatan.
Sebagai negara yang memajukan kerja sama dan perdamaian di kawasan, Faizasyah mengatakan, segala halal yang bisa memundurkan perdamaian sangat mengkhawatirkan.
"Oleh karena itu, Indonesia tentunya berharap negara-negara besar yang beraktivitas di kawasan mengurangi tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan ketegangan baru dan bahkan kondisi yang akan menyeret negara-negara lain pada kondisi yang tidak baik bagi perdamaian di kawasan," kata Faizasyah.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan menyampaikan lebih lanjut rincian peran yang dapat dimainkan Indonesia untuk menjaga ketertiban dan perdamaian di kawasan itu pada hari ini, Kamis (16/7).
Terus Bergejolak
Diwawancarai melalui telepon, Al A'raf, dosen ilmu pertahanan di Universitas Paramadina, Jakarta, menjelaskan situasi di Laut Cina Selatan akan terus tegang selama belum ada penyelesaian menyeluruh terhadap sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.
Al A'raf menekankan diplomasi atau dialog yang melibatkan semua negara yang mengajukan klaim wilayah di Laut Cina Selatan mutlak diperlukan. Dia menegaskan ASEAN dan sejumlah organisasi regional yang berkepentingan atas stabilitas di Laut Cina Selatan harus berperan dalam menyelesaikan konflik di wilayah ini.
Lebih jauh Al A'raf mengatakan tidak kaget dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo karena dia menilai negara adikuasa itu sudah melakukan persiapan sejak lama untuk menghadapi kemungkinan perang terbuka dengan China terkait konflik Laut Cina Selatan. Dia mencontohkan pembukaan pangkalan marinir Amerika di Darwin, Australia.
"Buat Indonesia, ini menjadi catatan bahwa seluruh kekuatan angkatan bersenjata di Indonesia seharusnya lebih difokuskan untuk bagaimana mengantisipasi kemungkinan konflik (terbuka) akibat dari (sengketa atas wilayah) Laut Cina Selatan. Kapasitas pertahanan di Indonesia harus dioerintasikan ke sana," ujar Al A'raf.
Ditambahkannya, keterbatasan anggaran membuat baru separuh kapasitas Angkatan Laut dan Angkatan Udara Indonesia yang dapat melindungi wilayah Indonesia jika terjadi konflik terbuka di laut Cina Selatan. Alhasil, Al A'raf menyimpulkan sepanjang kapasitas pertahanan Indonesia terbatas dan diplomasi Indonesia lemah, China akan selalu mengklaim wilayah perairan Natuna sebagai wilayah kedaulatan mereka.
Peran ASEAN
Dalam jumpa pers secara virtual dari kantornya akhir bulan lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan dalam isu Laut Cina Selatan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, antara lain soal rivalitas di antara berbagai kekuatan di Laut Cina Selatan.
Retno menggarisbawahi pentingnya peran ASEAN untuk mengirim pesan kepada semua pihak agar tetap menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut Cina Selatan. Yang harus dikedepankan, tambahnya, adalah kolaborasi dan kerjasama, bukan rivalitas.
Konflik di Laut Cina Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah yang menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk menjaga kondisi perikanan, eksplorasi dan eksploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut Cina Selatan.
Nilai komoditas perdagangan yang melewati Laut Cina Selatan setiap tahun adalah $3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi Cina dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka juga melewati Laut Cina Selatan.
Sejak 2013 China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan ini memicu kecaman internasional.
Pada 2015 Amerika bersama beberapa negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, memberlakukan kebijakan yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut Cina Selatan. [fw/em]