Puluhan tokoh masyarakat lintas agama, etnis dan profesi yang tergabung dalam Forum Rohmatan Lil Alamin (Forla), menyerukan gerakan “Sumpah Mati Aku Cinta Indonesia”, untuk menggelorakan kembali semangat Sumpah Pemuda kepada generasi masa kini.
Wahyuni Widianingsih dari Gusdurian Surabaya mengatakan, deklarasi dan seminar “Sumpah Mati Aku Cinta Indonesia” ini, berusaha menyatukan kembali berbagai elemen bangsa yang sempat terpecah-pecah akibat maraknya ujaran kebencian maupun politik kepentingan.
“Yang kita harapkan adalah merajut kembali solidaritas antar anak bangsa karena akhir-akhir ini kita tahu banyak peristiwa yang bagi kami, menurut kami, itu memecah belah. Baik karena banyaknya ujaran kebencian atau pun karena event-event politik yang sangat mempengaruhi persatuan di kalangan masyarakat Indonesia,” kata Wahyuni Widianingsih.
Para pemuka atau tokoh agama, memiliki peran yang sangat penting dalam menyatukan kembali anak bangsa yang sempat terpecah-pedah akibat pilihan politik dan ujaran kebencian.
Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi, semangat Sumpah Pemuda harus dijadikan dasar para pemuka dan tokoh agama untuk menggelorakan semangat kebangsaan dan persatuan. Salah satu faktor yang menimbulkan friksi adalah persoalan agama, kata Masdar.
“Jadi tokoh-tokoh agama, para pemimpin agama itu juga harus berbasis pada Sumpah Pemuda, lebih mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang bersifat inklusif. Bahwa ada perbedaan itu biarlah urusan rumah tangga masing-masing, tapi yang harus kita kedepankan dalam hidup berbangsa bernegara ini harus nilai-nilai universal yang inklusif,” kata Masdar.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesi (KWI), Mgr. Ignatius Suharyo, mengatakan gerakan “Sumpah Mati Aku Cinta Indonesia” ini sangat baik dilakukan untuk menghadapi tantangan-tantangan disintegrasi bangsa yang mulai terasa akhir-akhir ini.
Uskup Agung Jakarta ini mengajak generasi muda untuk bersama-sama melawan gerakan-gerakan yang ingin menghancurkan bangsa Indonesia yang dibangun para pendiri bangsa dengan perjuangan. Selain bahaya intoleransi, radikalisme dan isu SARA, persoalan narkoba dan korupsi merupakan tantangan bangsa Indonesia yang harus diatasi bersama-sama, kata Mgr. Ignatius.
“Jadi semuanya itu, tantangan-tantangan yang dicoba dihadapi, dan moga-moga juga menjadi kesempatan untuk mempererat kebersamaan di dalam kehidupan berbangsa ini.” Kata Mgr. Ignatius menegaskan.
Ketua Majelis Pekerja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Albertus Pati, mengatakan meski masuknya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sudah semakin terasa, namun dia yakin masih banyak masyarakat Indonesia yang berpikir sebagai satu bangsa Indonesia.
“Bahwa orang Indonesia ini lebih banyak berpikir sebagai bangsa Indonesia, bukan berpikir dalam konteks identitas primordial, bukan berpikir dalam identitas etnis atau agama, tapi berpikir sebagai bangsa Indonesia, seperti para founding fathers dan mothers kita,” kata Pendeta Albertus.
Rektor Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Kuncoro Foe, mengungkapkan maraknya gerakan intoleransi di kalangan pemuda dirasakan sudah mulai masuk melalui dunia pendidikan. Kuncoro Foe menegaskan bahwa institusi pendidikan memegang peranan penting untuk membentuk mentalitas generasi muda yang mencintai bangsa dan negaranya. Semangat Sumpah Pemuda harus dijadikan dasar, agar pemuda memiliki semangat juang untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
“Tidak ada yang given, tidak ada, semua yang given itu tidak ada, tetapi semua adalah karena suatu perjuangan,” kata Kuncoro Foe. “Memang tantangan kami sebagai pendidik zaman ini, manusia-manusia saat ini yang cenderung dipikir semuanya itu mudah, dan akibatnya berdampak pada keputusasaan yang sangat cepat.”