Di pedalaman Malawai, banyak keluarga mengirim anak-anak perempuan yang memasuki masa pubertas untuk mengikuti praktik budaya tradisional – semacam “inisiasi” – menjelang memasuki masa dewasa. Namun para aktivis hak anak-anak mengatakan ritual itu menarik anak-anak perempuan itu untuk melakukan hubungan seks lebih awal, kawin dan hamil pada usia remaja; hal-hal yang membuat banyak anak perempuan harus keluar dari sekolah.
Salah satu organisasi lokal berupaya mengubah hal itu dengan mengajar penyelenggara inisiasi untuk hanya memberi informasi yang sesuai usia anak-anak perempuan itu saja.
Madalitso Makosa baru berusia 13 tahun ketika mengikuti ritual inisiasi tradisional Malawi.
Makosa mengatakan setelah upacara inisiasi itu, para penasehat dalam inisiasi itu menyarankannya untuk melakukan ritual “kusasa fumbi” atau “menghapus kotoran” dengan laki-laki pilihan saya. Makosa memilih tidur dengan mantan pacarnya, tetapi kemudian ia hamil.
“Menghapus kotoran” merujuk pada ritual melepas keperawanan, yang seringkali dilakukan tanpa perlindungan, dalam arti kondom atau lainnya, untuk memasuki masa dewasa. Mereka yang menjadi ibu pada masa sangat belia ini akhirnya harus menanggung akibatnya.
Makosa mengatakan ketika mendapati bahwa ia hamil, ia sangat terpukul karena harus keluar dari sekolah. Ia kini berjuang untuk merawat bayinya. Ia berharap dapat melanjutkan pendidikannya kembali.
Inilah petikan inisiasi yang menunjukkan bagaimana para penasehat mempersiapkan gadis-gadis belia, yang sebagian bahkan baru berusia 12 tahun ketika mendapatkan menstruasi pertama mereka, untuk berhubungan seks dan memasuki dunia perkawinan.
Agnes Matemba, mantan penasehat inisiasi tradisional itu mengatakan saat ia mengajari gadis-gadis belia itu untuk mempertahankan pacar mereka, karena sekali saja mereka melirik gadis lain, maka mereka akan ditinggalkan.
Para aktivis anak-anak mengatakan inisiasi ritual itu mendorong tingginya angka kawin anak di Malawi. Separuh perempuan di negara itu kawin sebelum usia 18 tahun.
Kelompok Youthnet & Counselling, YONECO, mengatakan ingin inisiasi itu dibuat sesuai usia anak-anak perempuan tersebut, dan mempertahankan supaya mereka tetap sekolah.
“Ini adalah budaya tradisional yang diyakini orang-orang di Malawi, dan akan sangat sulit untuk sekedar meminta mereka menyudahi budaya ini. Tetapi kita bisa berupaya mengatakan “dapatkah dibuat kurikulum sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan usia gadis-gadis kecil itu?,” jelas MacBain Mkandawire, Direktur eksekutif YONECO.
YONECO bekerjasama dengan para penasehat di inisiasi tradisional itu untuk memberi masukan.
Sebagian daerah di Malawi sudah melarang praktik yang mendorong kawin muda.
Aidah Deleza, yang juga dikenal sebagai Kepala Tetua Chikumbu mengatakan, “Kami mengatakan tidak! Inisiasi ini adalah hal yang membuat banyak anak perempuan tidak menyelesaikan sekolah mereka, dan inilah yang membuat jumlah penduduk, jumlah kawin anak, jumlah bayi meningkat pesat. Apalagi banyak yang bahkan tidak terikat perkawinan.”
Untuk mencegah terjadinya kehamilan remaja, pemimpin-pemimpin tradisional seperti di Chikumbu membagi anak-anak perempuan peserta inisiasi itu ke dalam dua kelompok.
Seorang penasehat memulai upacara sederhana bagi para gadis kecil ini, sementara lainnya memberikan pendidikan seks dan persiapan untuk kawin bagi gadis yang lebih besar. [em]