Ketika Ruba Zai mengunggah video pertamanya online, pelajar Afghanistan yang bermukim di Belanda itu hanya ingin berbagi dengan para perempuan Muslim lainnya, bagaimana ia bergaya dengan jilbabnya. Dia tidak tahu bahwa "peragaan memakai jilbab" itu, akan menjadi viral di internet, ditonton ratusan ribu orang di seluruh dunia.
Kini mahasiswa berusia 23 tahun itu menulis di blog penuh waktu, berbagi ide bagaimana tampil modis namun tertutup, dengan sejuta pengikut Instagram. Zai telah memasuki pasar yang berkembang pesat untuk apa yang disebut "mode sederhana," didorong oleh wanita muda Muslim yang bergaya Muslim canggih dari London sampai Malaysia yang telah lama merasa, kebutuhan mereka diabaikan oleh para perancang busana ternama.
Merek-merek besar telah sadar dengan panggilan itu, dan kecantikan yang ditutupi itu perlahan-lahan masuk ke arus mode utama. Dari perancang eksklusif hingga waralaba mode yang cepat, pengecer mencoba memikat jutaan konsumen Muslim, terutama sekitar bulan Ramadan, yang dimulai akhir Mei lalu, sewaktu banyak warga Muslim membeli pakaian baru dan berdandan.
Pada 2014, rumah mode Amerika, DKNY adalah salah satu merek Barat pertama yang meluncurkan koleksi Ramadhan yang ditujukan untuk pembeli orang Arab yang kaya.
Sejak itu, beberapa merek lain mengikutinya. Dolce & Gabbana telah menjual koleksi abaya mewah, gaun longgar dan jilbab yang serasi sejak 2016 di Timur Tengah, Paris dan London. Pada bagian pasar yang lebih terjangkau, perusahaan waralaba Spanyol, Mango juga mempromosikan koleksi tunik, kaftan dan maxi bulan Ramadhan untuk tahun kedua.
Awal tahun ini, Nike menjadi merek utama pertama yang meluncurkan "jilbab pro," jilbab yang dibuat dengan kain berteknologi tinggi yang ditujukan untuk atlet perempuan Muslim. Bahkan Marks and Spencer, toko online ternama asal Inggris yang dikenal dengan kardigan dan sepatu praktis, meluncurkan burkini - baju renang yang menutupi seluruh tubuh, musim panas lalu.
Tetapi mungkin tanda yang paling tampak adalah arus mode utama yang merangkul pasar Muslim, ketika rumah desain Max Mara dan Alberta Ferretti diperagakan oleh model Amerika keturunan Somalia, Halima Aden di atas catwalk pada peragaan busana untuk Pekan Busana Milan, salah satu acara industri mode yang paling bergengsi.
"Busana dengan arus utama sekarang membicarakan tentang mode sederhana. Sepuluh tahun yang lalu, jika busana itu berlatar belakang agama dan ingin dijual di sebuah toserba, menyebutnya sebagai merek sederhana atau Muslim, bisnis kita akan mati," kata Reina Lewis, seorang profesor di London College of Fashion yang telah menulis dua buku tentang topik tersebut.
Sementara sebagian besar dari mereka yang tertarik dengan mode tertutup adalah wanita Muslim kosmopolitan muda, "istilah 'kesederhanaan’ muncul di celah pasar sebagai sesuatu yang berguna karena tidak spesifik terkait dengan keyakinan," tambah Lewis.
"Saya tahu teman-teman yang beragama Kristen dan atheis yang tidak menutupi kepala mereka, tapi mereka berpakaian seperti ini karena merasa itulah yang paling nyaman,” kata Zai. [ps/al]