Febrian Adinata dan istrinya tidak pernah membahas dengan bahasa apa kedua putra mereka akan dibesarkan. Di rumahnya, sedikitnya empat bahasa biasa terdengar sehari-hari.
“Memang kita sekarang di rumah secara generalnya bahasa Indonesia. Tapi memang kadang ada kepengin gitu kan ya kita coba ajak anak-anak ini bahasa Melayu, bahasa Minang, kita coba terus bahasa Banjar, bahasa Jawa gitu, biar mereka paham aja,” ungkap Febrian, melalui sambungan telepon (10/11).
Baginya penting agar kedua putra mereka memahami setiap bahasa yang diucapkan di rumah, dan lebih dari itu, mengenal jati diri mereka.
Febrian tumbuh besar di Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, dengan bahasa Banjar, sedangkan istrinya berasal dari Pekanbaru dengan lingkungan yang berbahasa Melayu. Selama enam bulan terakhir, ia dan keluarga kecilnya menetap di Yogyakarta, di mana anak-anak mereka, yang masing-masing berusia enam dan empat tahun, mulai terbiasa dengan bahasa Jawa.
“Harapan kita sebenarnya kalau misalnya someday, nanti (anak-anak) dibawa lagi balik kampung (halaman) ketemu keluarga, mereka paham apa yang dibicarakan,” tambahnya.
Memanfaatkan Kecerdasan Buatan
Yang dilakukan Febrian tergolong upaya pelestarian bahasa daerah di lingkup terkecil, yaitu keluarga.
Di tingkat nasional, upaya pelestarian sedang digalakkan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Endang Aminudin Aziz.
Ia dan timnya sedang membuat aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) semacam ChatGPT atau Gemini, yang dapat menjadi mesin penerjemah antarbahasa daerah di Indonesia.
“Saya orang Sunda nih – saya bicara ke si AI itu, misalnya aplikasinya namanya BABA – Badan Bahasa, saya bilang begini, ‘BABA, cing naon hartina…’ – atau ‘Cing naon bahasa Balina ‘naha ari maneh teu baleg?’’ misalnya begitu. Itu si BaBa itu akan langsung keluar dengan terjemahan dalam bahasa Bali,” urai Aminudin kepada VOA, melalui sambungan telepon (7/11).
Gambaran itu yang diharapkannya dapat terwujud kelak. Saat ini, pembuatan chatbot itu masih dalam tahap awal.
Ia dan timnya sedang terlebih dahulu membangun korpus digital bahasa daerah, yang dikumpulkan dari buku, koran, majalah, rekaman percakapan lisan, hingga unggahan media sosial. Nantinya, korpus itu akan menjadi bagian dari data raya (big data) sistem AI model bahasa besar (Large Language Models/LLM) untuk mesin penerjemah tersebut.
“Saya sekarang di badan bahasa ini sedang mendokumentasikan antara 14 sampai 15 bahasa daerah. Kita mulainya dari situ,” imbuhnya.
Tidak hanya mesin penerjemah, Aminudin juga ingin memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memetakan persebaran bahasa daerah, serta mengkaji vitalitas atau daya hidupnya secara lebih efisien. Pasalnya, selama ini pengumpulan data linguistik seperti itu masih dilakukan secara manual dengan menerjunkan banyak petugas ke lapangan, sehingga memakan lebih banyak tenaga, waktu dan biaya.
Untuk itu, Aminudin dan tim mengembangkan aplikasi VIBA (Vitalitas Bahasa), dengan memanfaatkan teknologi pengenalan suara (speech recognition), yang belum lama ini diuji coba. Melalui aplikasi tersebut, nantinya masyarakat penutur bahasa daerah dapat memberikan umpan suara ke aplikasi, berupa percakapan dalam bahasa daerah, yang kemudian diolah menjadi data linguistik, serta bisa mendeteksi lokasi dan usia penutur. Aminudin berharap versi awal aplikasi itu sudah bisa diunduh masyarakat pada gawai mereka tahun depan.
Hapus Anggapan ‘Kampungan’
Pelestarian bahasa daerah juga menjadi napas BASAibu Wiki, organisasi nirlaba yang bergerak untuk mendorong keterlibatan anak muda dalam diskursus publik, dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
Bermula dari inisiatif untuk melestarikan bahasa, budaya dan sastra Bali melalui platform digital, organisasi BASAbali Wiki terbentuk pada tahun 2011. Sekarang, inisiatif itu telah direplikasi di sedikitnya tiga daerah lain, dengan terbentuknya BASAsulsel Wiki, BASAkalimantan Wiki dan BASAntb Wiki, di bawah payung BASAibu Wiki.
Kamus digital bahasa Bali, Bugis, Makassar dan Banjar pun sudah bisa dimanfaatkan masyarakat melalui situs mereka (https://basabali.org). Selain itu, ajang Wikithon, yaitu lomba menulis opini dalam bahasa daerah yang diikuti ribuan peserta melalui platform digital mereka, rutin digelar sejak 2018.
Ni Nyoman Clara Listya Dewi adalah direktur pelaksana BASAbali Wiki.
“Selama ini kan kita skeptis ya anak muda Bali, khususnya, itu enggak mau melestarikan bahasa Bali gitu, karena mungkin malu tidak sengetren bahasa Inggris gitu. Tetapi ternyata waktu kami mengadakan lomba itu justru demografi dari pesertanya itu anak muda,” ungkap Clara kepada VOA, dalam sambungan telepon (1/11).
Meski demikian, Clara mengakui bahwa upaya untuk mendorong anak-anak muda melestarikan bahasa daerah masih cukup menantang. Ia menilai, masih terdapat anggapan bahwa berbahasa daerah itu “tidak seksi”.
Hal senada disampaikan Kepala Badan Bahasa Endang Aminudin Aziz. Ia menyebut sikap bahasa (language attitude) yang negatif, entah karena dianggap tidak keren atau kurang berwibawa, membuat bahasa daerah semakin rentan punah.
“Jadi, merasa kampungan kalau bicara dalam bahasa daerah, itu yang paling besar tantangannya, karena kalau misalnya tidak punya sikap bahasa yang baik, ya mereka akan tinggalkan dengan sendirinya [bahasa daerah mereka], gitu,” kata Aminudin.
Untuk mengatasinya, pada tahun 2021, lembaganya membuat inisiatif untuk menjadikan kegiatan belajar bahasa daerah di sekolah bersifat informal, seperti sedang “bermain”.
Ia memberikan kebebasan kepada pelajar untuk memilih materi pelajaran bahasa daerah yang mereka minati, dari mendongeng, menulis cerita pendek, menulis puisi, berpidato, bernyanyi, hingga menulis komedi tunggal (standup comedy).
“Karena bagi kami yang penting adalah anak-anak senang dulu menggunakan bahasa daerah,” lanjut Aminudin.
Selain sikap bahasa, migrasi, kawin silang dan bencana merupakan tantangan lain yang menghadapi upaya pelestarian bahasa daerah, tambahnya.
Bahasawan dan Tokoh AI Berpengaruh
Bagi Clara, upaya pelestarian bahasa daerah sama dengan upaya mempertahankan identitas diri.
“Bagaimana kita bisa menghadapi dunia di masa depan, kalau kita sendiri tidak mengenali identitas kita yang sebenarnya itu siapa. Itu kan dimulai dari bahasa, dari hal yang paling dekat dengan kehidupan kita,” ujar Clara.
Clara mengapresiasi upaya pemerintah melalui Badan Bahasa untuk melestarikan bahasa daerah dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan. Modernisasi pelestarian bahasa daerah, seperti yang organisasinya lakukan dengan mendigitalisasi korpus, dapat memperlambat bahkan mencegah kepunahan bahasa daerah.
Meski tidak berkolaborasi dalam inisiatif AI Badan Bahasa, Clara merasa gerakan-gerakan akar rumput seperti BASAibu Wiki ikut terlegitimasi oleh pencapaian Aminudin September lalu, ketika majalah TIME menobatkannya sebagai satu dari 100 tokoh paling berpengaruh dalam bidang kecerdasan buatan tahun 2024 (https://time.com/7012839/endang-aminudin-aziz/).
Majalah yang berbasis di New York, AS itu mengapresiasi peran Aminudin dalam memikul tanggung jawab penyelamatan lebih dari 700 bahasa di Indonesia dengan memanfaatkan AI.
Aminudin sendiri mengaku bukan seorang ahli kecerdasan buatan, melainkan bahasawan. Lembaganya berkolaborasi dengan berbagai pihak, dari perguruan tinggi, ahli bahasa, komunitas, ahli AI, hingga perpustakaan nasional, lembaga yang sedang ia juga pimpin saat ini, untuk menggarap inisiatif AI itu.
“Bagi saya ini bagaimanapun bukan pencapaian pribadi, bukan. Tapi ini adalah berkat dukungan tim, tim besar. Hanya kebetulan saja saya yang memimpinnya.”
Hasil survei ulang yang dilakukan Badan Bahasa pada tahun 2021 menunjukkan ada 18 bahasa daerah yang berstatus aman, 27 yang berstatus rentan punah dengan daya hidup yang menurun, 29 yang alami kemunduran dengan penutur yang jumlahnya berkurang semakin cepat, delapan bahasa terancam punah, delapan bahasa berstatus kritis, dan lima bahasa yang telah punah. Kelima bahasa daerah itu adalah bahasa Hoti, Kaiely dan Piru dari Maluku, bahasa Mawes dari Papua, serta bahasa Tandia dari Papua Barat. [rd/em]
Forum