Pihak berwenang di Mesir mengatakan Selasa (12/7) bahwa para penceramah Muslim diwajibkan membaca naskah khotbah shalat Jumat yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan isinya sama persis, sebagai bagian dari kampanye pemerintah melawan ekstremisme.
Hal ini telah memancing kemarahan dari sejumlah penceramah atau khotib tersebut.
Kementerian Agama sejak 2014 telah menyediakan topik-topik ceramah shalat Jumat untuk para khotib, namun langkah terbaru ini membatasi khotib di seluruh negeri untuk membaca naskah yang sama.
"Tidak ada yang tidak setuju dalam pertemuan (dengan para pejabat hari Selasa) dan semua wakil menteri menerima instruksi baru mengenai ceramah yang sama tanpa insiden," ujar Wakil Menteri Agama untuk provinsi Qalyubiya, Sabry Dowaidar.
“Menteri (Mohamed Gomaa) mengatakan ia akan memulainya dan membaca khotbah yang sudah dipersiapkan Jumat mendatang."
Seorang wakil menteri dari provinsi yang berbeda, yang minta namanya dirahasiakan, mengatakan naskah itu akan ditulis oleh para pejabat kementerian dan ulama-ulama senior dari al-Azhar, pusat pembelajaran agama Islam yang berusia 1.000 tahun di Kairo.
Para anggota parlemen dari Komite Urusan Agama juga akan berkontribusi, demikian juga dengan sosiolog dan psikolog.
Para pejabat mengatakan langkah itu akan memaksa para penceramah fokus pada batas waktu yang sesuai dan memastikan "pikiran mereka tidak ke mana-mana."
Oposisi
Beberapa khotib menyuarakan kemarahan atas langkah tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu akan mencegah bersinarnya penceramah-penceramah yang berbakat dan bahwa komunitas yang berbeda memiliki isu yang berbeda yang perlu dibahas di masjid.
"Di mana-mana di Mesir, setiap kota atau desa, punya situasi yang berbeda. Suatu desa mungkin punya masalah perampokan jadi ceramah akan membahas hal itu. Tempat lain mungkin menghadapi masalah pembunuhan dan itu yang seharusnya dibahas," ujar Abdelsalam Mahmoud, imam di sebuah masjid di Luxor, kota di Mesir selatan.
Presiden Abdel Fattah al-Sisi, yang naik ke puncak kekuasaan setelah memimpin miiter menggulingkan presiden dari kelompok Islamis, telah menjadikan "reformasi wacana agama" dan pemberantasan ekstremisme sebagai prioritas. Ia melihat Islamisme militan sebagai ancaman eksistensial.
Tahun 2013, Kementerian Agama memecat 55.000 penceramah yang tidak diotorisasi oleh al-Azhar, tak lama setelah militer menggulingkan Mohamed Morsi dari kelompok Ikhwanul Muslimin dari kursi kepresidenan, menyusul protes-protes massal melawan kepemipinannya.
Para ulama itu dituduh memicu kekerasan dan menyebarkan pandangan ekstremis dan mendukung Ikhwanul Muslimin, gerakan Islamis tertua di dunia.
Pemerintah tidak membedakan kelompok-kelompok seperti Ikhwanul, yang mengatakan mereka cinta damai, dengan Negara Islam (ISIS) yang meningkatkan perlawanan di Semenanjung Sinai dan telah membunuh ratusan tentara dan polisi. [hd]