Survei Komnas Pengendalian Tembakau terhadap 612 responden dari berbagai daerah di Indonesia, selama periode Mei hingga Juni 2020, menyebutkan adanya keyakinan tingkat kerentanan perokok terhadap virus corona.
Selama pandemi corona yang mengharuskan masyarakat lebih banyak di rumah, justru terjadi peningkatan belanja rokok hingga 13,1 persen. Mayoritas berasal dari responden itu berpenghasilan di bawah lima juta rupiah yaitu 9,8 persen, serta berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah sebanyak 17,8 persen.
Peneliti utama survei ini, Krisna Puji Rahmayanti, mengatakan pemberlakuan pembatasan sosial di sejumlah daerah belum mampu menurunkan atau bahkan membatasi perilaku merokok masyarakat, terutama di dalam rumah.
“Meskipun pandemi Covid-19, masih ada kelompok yang ternyata belum bisa untuk berhenti merokok atau membatasi merokok di dalam rumah. Padahal kalau dilihat dari bukti akademisnya sudah banyak yang menghubungkan antara perilaku merokok dengan dampak Covid-19. Sehingga perlu banyak sekali edukasi maupun mungkin ada pedoman penanganan Covid-19 yang memang memasukkan perilaku merokok ini sebagai salah satu perilaku yang harus dibatasi,” jelas Krisna Puji Rahmayanti.
Perokok Lebih Berisiko Terjangkit Corona
Dokter Agus Dwi Susanto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menegaskan tingginya risiko yang dimiliki perokok untuk terkena virus corona dibandingkan dengan yang tidak merokok. Bahkan perokok juga berisiko lebih tinggi untuk komplikasi berat hingga meninggal dunia akibat virus corona. Tidak hanya rokok biasa, rokok elektronik serta produk tembakau lainnya juga berpotensi menularkan virus corona.
“Seorang yang memiliki kebiasaan merokok memiliki kecenderungan 1,45 sampai 2 kali lipat mendapatkan kondisi Covid-19 yang berat. Covid-19 ini cirinya ada lima dari tanpa gejala, ringan, sedang, berat, sampai kritis. Perokok ini memiliki kecenderungan menjadi Covid-19 yang berat sampai kritis, dan dikatakan risiko kematian Covid-19, empat belas kali lebih tinggi dibandingkan yang bukan perokok,” jelas Agus Dwi Susanto.
Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Hari Nur Cahya Murni, mengatakan pemerintah telah membuat sejumlah regulasi untuk mengendalikan rokok melalui pemerintah daerah. Pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota telah menerbitkan peraturan daerah yang menetapkan kawasan tanpa rokok, sebagai upaya mengendalikan rokok di masyarakat.
“Bahwa 34 provinsi dan 398 kabupaten kota telah menerbitkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah tentang pelaksanaan kawasan tanpa rokok,” kata Hari Nur Cahya Murni.
Keluarga Berperan Penting Tekan Jumlah Perokok
Sementara itu, Kasubdit Advokasi dan Kemitraan, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Sakri Sabatmaja, mengatakan bahwa merokok telah menjadi masalah kesehatan masyarakat sebelum dan pada saat pandemi corona. Perokok pemula bahkan mengalami peningkatan sebesar 7,2 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018.
Sakri mengatakan, perlu edukasi dan sosialisasi terus menerus mengenai peningkatan risiko terkena corona bagi perokok. Ini tidak lepas dari budaya masyarakat yang cenderung permisif atau membolehkan orang yang datang ke rumah sambil merokok, dengan alasan menghormati tamu yang datang.
“Dari hasil penelitian tadi, lingkungan keluarga sangat menentukan. Tadi disebutkan bahwa keluarga yang memiliki perilaku tidak merokok dalam keluarga, dia cenderung memiliki proteksi terhadap perilaku merokok di dalam rumahnya maupun di luar rumah itu semakin bagus, semakin ketat. Sementara keluarga-keluarga yang notabene memang perokok, ya acuh tak acuh, bahkan anaknya pun tidak dilindungi untuk merokok, akhirnya perokok pasif pun muncul di mana-mana,” jelas Sakri Sabatmaja. [pr/em]